Sayang, Neli justru didakwa sebagai pelaku pembuangan bayi seperti yang bisa dilihat dari permukaan, padahal jika ditelusuri lebih dalam, Neli adalah korban dari kekerasan sistem dan ketidakadilan.
Dra. Mamik Sri Supatmi M.Si, kriminolog kenamaan yang jadi saksi ahli kasus Neli mengatakan bahwa Neli tidak bisa disebut membunuh anak karena ia hanya ingin melakukan aborsi atau menyetop kehamilan.
“Itu hak yang bersangkutan sebagai pemilik tubuh untuk melanjutkan atau menghentikan kehamilan, apalagi jika dia punya beberapa alasan kongkret internal dan terutama eksternal yang memberatkan,” ucap Mamik dalam buku tersebut.
Minimnya Layanan Aborsi Aman di Indonesia untuk Korban Kekerasan Seksual
Neli bukan satu-satunya perempuan korban kekerasan seksual yang tidak bisa mengakses layanan aborsi aman di Indonesia. Ada juga kasus lain di Semarang, di mana korban kekerasan seksual tidak bisa mendapatkan layanan aborsi aman.
Ada sebuah kasus di Semarang yang diceritakan oleh Suharti salah satu pendamping korban mitra Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (Yayasan IPAS Indonesia) sekaligus dari Forum Pengada Layanan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), seorang perempuan korban kekerasan seksual perkosaan mengalami kehamilan tidak diinginkan. Pada saat itu, korban dan keluarga menghendaki aborsi atau penghentian kehamilan.
Namun apa yang terjadi? Tidak ada dokter yang mau menyediakan layanan aborsi aman untuk korban kekerasan seksual. Di samping itu, minim layanan kesehatan yang mau melayani aborsi aman untuk korban kekerasan seksual di Indonesia.
“Kasus di Semarang itu pendamping korban dan keluarganya itu sebenarnya menghendaki adanya layanan aborsi aman, tetapi ternyata dokter yang mau menyediakan layanan itu sulit sekali dan harus dengan banyak syarat,” tutur Suharti.
“Alasannya macam-macam, ada sumpah dokter, ada hukum yang belum melindungi,” tambahnya.
Padahal menurut penelitian Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), aborsi karena kehamilan akibat perkosaan bisa dilakukan dengan syarat ada surat keterangan konselor, surat kelayakan aborsi, keterangan penyidik dan/atau konselor mengenai dugaan perkosaan, dan surat keterangan usia kehamilan.
Meski begitu, proses aborsi untuk kehamilan akibat perkosaan di Indonesia pun sangat lama dan berbelit sehingga berisiko pada penambahan usia kandungan perempuan.