GridPop.ID - Kasus kekerasan seksual terhada perempuan menjadi salah satu kasus yang paling sering terjadi di Tanah Air.
Mirisnya lagi tak jarang justru perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual justru mendapatkan hukuman.
Sama seperti yang dialami Neli (bukan naman sebenarnya) sosok wanita yang menjadi korban kekerasa seksual namun ditahan selama 6 tahun.
Neli dijatuhi hukuman tersebut lantaran didakwa atas kasus pembuangan janin yang dilakukannya.
“Nama saya (Neli). Kasus saya aborsi bayi,” ucapnya kepada pendampingnya kala itu, Permina Sianturi atau yang akrab disapa Butet dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Jakarta, seperti dalam buku “Ini Tanganku, Ini Sayapku… Beberapa Kisah Pendampingan Korban Kekerasan di YLBH APIK Jakarta”.
Neli bukanlah pelaku pembuangan bayi, ia adalah korban dari gagalnya negara dalam menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh perempuan korban kekerasan seksual, terutama yang mengalami kehamilan tidak diinginkan.
Ia adalah perempuan korban kekerasan seksual yang mengalami kehamilan tidak diinginkan namun tidak bisa mengakses layanan aborsi aman.
Neli adalah perempuan yang terpaksa harus bekerja di panti pijat plus plus demi menghidupi suaminya yang pengangguran, buah hatinya yang masih kecil, dan orang tuanya. Kondisi ekonomi membuat Neli harus melakukan pekerjaan tersebut, bahkan melayani nafsu birahi pelanggannya.
Hingga suatu ketika, Neli hamil karena selalu ada pelanggan yang tidak mau memakai kondom saat berhubungan seksual. Padahal, panti pijat tempatnya bekerja tidak memperbolehkan siapapun hamil.
Tak ingin dikeluarkan dari panti pijat tempatnya bekerja karena ada banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada Neli, perempuan itu memilih untuk menggugurkan kandungannya. Ia tidak ingin ada lagi satu orang yang harus ia hidupi dan biayai karena sejauh ini ia sudah cukup kesulitan menghasilkan uang untuk suami, anak, dan orang tuanya.
Namun karena belum adanya layanan aborsi aman di Indonesia untuk perempuan korban kekerasan seksual, Neli terpaksa membeli obat penggugur kandungan Cytotec dan membuang janin yang ia gugurkan.
Sayang, Neli justru didakwa sebagai pelaku pembuangan bayi seperti yang bisa dilihat dari permukaan, padahal jika ditelusuri lebih dalam, Neli adalah korban dari kekerasan sistem dan ketidakadilan.
Dra. Mamik Sri Supatmi M.Si, kriminolog kenamaan yang jadi saksi ahli kasus Neli mengatakan bahwa Neli tidak bisa disebut membunuh anak karena ia hanya ingin melakukan aborsi atau menyetop kehamilan.
“Itu hak yang bersangkutan sebagai pemilik tubuh untuk melanjutkan atau menghentikan kehamilan, apalagi jika dia punya beberapa alasan kongkret internal dan terutama eksternal yang memberatkan,” ucap Mamik dalam buku tersebut.
Minimnya Layanan Aborsi Aman di Indonesia untuk Korban Kekerasan Seksual
Neli bukan satu-satunya perempuan korban kekerasan seksual yang tidak bisa mengakses layanan aborsi aman di Indonesia. Ada juga kasus lain di Semarang, di mana korban kekerasan seksual tidak bisa mendapatkan layanan aborsi aman.
Ada sebuah kasus di Semarang yang diceritakan oleh Suharti salah satu pendamping korban mitra Yayasan Inisiatif Perubahan Akses Menuju Sehat (Yayasan IPAS Indonesia) sekaligus dari Forum Pengada Layanan Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), seorang perempuan korban kekerasan seksual perkosaan mengalami kehamilan tidak diinginkan. Pada saat itu, korban dan keluarga menghendaki aborsi atau penghentian kehamilan.
Namun apa yang terjadi? Tidak ada dokter yang mau menyediakan layanan aborsi aman untuk korban kekerasan seksual. Di samping itu, minim layanan kesehatan yang mau melayani aborsi aman untuk korban kekerasan seksual di Indonesia.
“Kasus di Semarang itu pendamping korban dan keluarganya itu sebenarnya menghendaki adanya layanan aborsi aman, tetapi ternyata dokter yang mau menyediakan layanan itu sulit sekali dan harus dengan banyak syarat,” tutur Suharti.
“Alasannya macam-macam, ada sumpah dokter, ada hukum yang belum melindungi,” tambahnya.
Padahal menurut penelitian Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), aborsi karena kehamilan akibat perkosaan bisa dilakukan dengan syarat ada surat keterangan konselor, surat kelayakan aborsi, keterangan penyidik dan/atau konselor mengenai dugaan perkosaan, dan surat keterangan usia kehamilan.
Meski begitu, proses aborsi untuk kehamilan akibat perkosaan di Indonesia pun sangat lama dan berbelit sehingga berisiko pada penambahan usia kandungan perempuan.
Senada dengan Suharti, Uli Pangaribuan dari LBH APIK Jakarta yang sudah sering mendampingi korban kekerasan seksual juga mengatakan bahwa layanan aborsi aman untuk korban kekerasan seksual di Indonesia ini masih minim, bahkan tidak ada, meski sudah ada Undang-Undang yang mengaturnya.
“Belum ada yang melakukan padahal Undang-Undang dibuat harusnya bisa menjamin semuanya untuk korban bisa mengakses. Apalagi ini kita ngomongin yang aman, aborsi aman,” ucap Uli.
Sudah Ada Aturan dalam UU, Namun Belum Ada Realisasi
Aborsi di Indonesia memang tidak bisa dibilang ilegal. Ada undang-undang yang sudah mengatur tentang tindak aborsi, di mana praktik aborsi ini diperbolehkan untuk perempuan yang mengalami kehamilan akibat kekerasan seksual.
Namun hingga saat ini, belum ada layanan aborsi aman yang secara resmi ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan Indonesia, pun dengan rumah sakit yang secara resmi bisa jadi rujukan layanan aborsi aman untuk korban kekerasan seksual.
Padahal, hukum di Indonesia yakni Undang-Undang Kesehatan jelas mengatakan bahwa aborsi diizinkan untuk tiga kondisi, di mana salah satunya adalah untuk korban kekerasan seksual perkosaan yang mengakibatkan kehamilan tidak diinginkan.
“Aborsi di Indonesia, kita tidak bisa bilang aborsi di Indonesia itu ilegal. Karena aborsi legal diatur dalam hukum. Bahwa di dalam hukum Indonesia dibilang aborsi itu dilarang kecuali untuk tiga situasi. Satu adalah ketika ada gawat darurat jiwa ibu. Kedua ketika ada gangguan tumbuh kembang janin. Ketiga ketika korban perkosaan.” tutur Marcia Soumokil, Direktur Yayasan IPAS Indonesia.
Adapun undang-undang yang mengatur tentang izin aborsi untuk korban perkosaan seksual ini adalah UU Kesehatan Pasal 75 Ayat 2.
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan:
Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/ atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/ atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;
atau
Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.Tidak hanya sudah ada UU Kesehatan yang mengatur tentang aborsi untuk korban kekerasan seksual, sudah ada pula Algoritma Tatalaksana Pelayanan Kesehatan Bagi Korban Kekerasan Seksual yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI tahun 2021.
Dalam algoritma tersebut tercantum bagan tatalaksana kehamilan pada kasus kekerasan seksual, dimana jika korban kekerasan seksual memilih untuk menghentikan kehamilan alias terminasi kehamilan, maka terminasi kehamilan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Algoritma tersebut pun dengan jelas mengatakan bahwa ‘kehamilan pada penyintas/korban kekerasan seksual merupakan kehamilan yang tidak diinginkan dan tidak direncanakan, seringkali perawatan kehamilan tidak dilakukan dengan baik sehingga perlu perhatian khusus, selain itu risiko tertular IMS juga harus menjadi perhatian.
Apabila kemudian diputuskan untuk dilakukan terminasi kehamilan dengan usia kehamilan kurang dari atau sama dengan 40 hari, maka terminasi harus dilakukan di rumah sakit yang sudah ditentukan.
Dalam alur pelaporan dan rujukan untuk perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan pun ketika korban perkosaan ingin menghentikan kehamilannya, maka bisa dirujuk ke rujukan sesuai PMK No.3 Tahun 2016, fasilitas kesehatan yang ditunjuk oleh pemerintah, dan RS Bhayangkara Semarang.
PMK atau Peraturan Menteri Kesehatan No 3 Tahun 2016 berisi tentang Pelatihan Dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi Atas Indikasi Kedaruratan Medis Dan Kehamilan Akibat Perkosaan.
Namun pada kenyataannya, rujukan layanan aborsi aman di Indonesia belum ada atau bahkan sulit untuk diakses. Belum ada penunjukan rumah sakit secara resmi yang bisa melakukan aborsi aman untuk perempuan korban perkosaan.
GridPop.ID (*)
Artikel ini telah tayang di Parapuan.co dengan judul 'Aborsi Aman untuk Korban Perkosaan, Legal di UU, Miskin Implementasi'