GridPop.ID - Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto memang telah tiada.
Namun kisahnya selama hidup dan memimpin Indonesia masih banyak dan menarik untuk dikulik.
Terlebih lagi, Soeharto memimpin bangsa Indonesia dengan waktu tak singkat.
Diberitakan Tribun Jatim, Soeharto adalah mantan presiden yang menjadi sangat pandai menjalin hubungan bilateral dengan berbagai negara.
Berkuasa kurang lebih 32 tahun membuat Soeharto sering melakukan kunjungan je sejumlah negara.
Selama jadi seorang Presiden Republik Indonesia, Soeharto memiliki pengalaman berkunjung ke negara Eropa.
Ada cerita yang cukup menegangkan pernah dialami oleh Soeharto pada masa pemerintahannya.
Cerita tersebut satu di antaranya terjadi di Jerman.
Hubungan antara Indonesia dan Jerman sejak beberapa tahun lalu tentu saja sudah terjalin baik.
Meski demikian, hubungan yang baik tersebut tidak bisa menghindarkan juga kondisi yang tidak mulus seperti yang diharapkan.
Kunjungan Soeharto pada 1995 silam sempat menjadi perbincangan karena ternyata tidak berjalan mulus.
Sjafrie Sjamsoeddin, mantan pengawal Soeharto mengungkap hal itu di buku "Pak Harto The Untold Stories".
Sjafrie mengatakan, kunjungan itu terjadi pada tahun 1995 silam. Tepatnya, pada tanggal 1 April 1995.
Saat itu, Soeharto berniat menghadiri Hannover Fair, yakni sebuah pameran dagang akbar yang diikuti sekitar 60 negara di dunia.
"Ternyata ada yang tidak menyukai tampilnya Pak Harto di panggung para pemimpin dunia di saat itu,"kata Sjafrie.
Alasannya, saat itu sejumlah orang menggelar demonstrasi di Jerman di mana mereka mengangkat beberapa isu yang sedang hangat di Indonesia.
Sjafrie melanjutkan, dia sebenarnya sudah melihat adanya gejala gangguan pada kunjungan Soeharto sejak mereka di Hannover.
Menurutnya, hal itu sebagai dampak dari adanya beberapa orang Timor Timur yang melompati pagar Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.
"Rupanya mereka lantas berkeliling ke sejumlah negara di Eropa,"ujar Sjafrie.
Meski demikian, para pedemo tidak mendapatkan peluang karena pengamanan di Jerman terbilang ketat.
Namun, keesokan harinya Sjafrie melaporkan ke Soeharto terkait indikasi adanya sejumlah LSM internasional yang akan menggelar demonstasi.
"Saya melihat Pak Harto menyimak, tetapi tidak begitu menaruh perhatian secara fisik. Itu menunjukkan bahwa beliau tahu, tetapi tidak mau pikirannya terganggu," lanjut Sjafrie.
Yang dikhawatirkan atau yang ditakutkan pun akhirnya terjadi.
Saat itu, Soeharto beserta rombongannya harus berjalan sejauh 75 meter menuju tangga gedung Museum Wright.
Ketika itu, rombongan tersebut melihat adanya sejumlah orang yang berkerumun.
Mereka seakan tahu ada seorang kepala negara yang akan datang.
Awalnya, Sjafrie menganggap hal itu lazim. Namun, saat baru sepertiga jarak dilalui, mendadak orang-orang tersebut membuka baju mereka.
Sehingga, terlihat kaus-kaus mereka, dan bertuliskan "Fretilin".
"Ternyata mereka adalah demonstran yang menyamar sebagai kerumunan,"ungkap Sjafrie.
Mereka selanjutnya bertindak mulai anarkis. Tak hanya mengacungkan poster, mereka juga mulai ada yang melempar telur, kertas, hingga mengibarkan bendera Fretilin.
"Pak, ini ada yang mengganggu," kata Sjafrie yang dibalas Soeharto dengan tenang.
"Jalan saja terus," kata Sjafrie sambil menirukan ucapan Soeharto.
Saat didemo para demonstran, Soeharto rupanya hanya dikawal oleh tiga pengawal resmi.
Sjafrie sendiri mengaku sudah bersiap mengambil tindakan taktis.
"Kalau tangan saya sampai mereka sentuh, senjata saya harus digunakan,"kata Sjafrie.
Oleh karena itu, tangan kiri Sjafrie pun berusaha memberi batas. Sedangkan, tangan kanannya sudah berada di sarung pistol.
Beruntung, saat itu dia mendapatkan bantuan dari para wartawan Indonesia yang meliput agenda Soeharto.
"Mereka ikut jadi bumper dan pembuka jalan sehingga lemparan benda-benda itu tidak sampai menjangkau Presiden, dan Ibu Negara yang hanya kami lindungi dengan payung beserta rombongannya," tandas Sjafrie.
Sebagaimana diketahui, Soeharto telah meninggal dunia pada 27 Januari 2008.
Jenazah Soeharto dimakamkan di samping makam Tien Soeharto yang telah mendahuluinya pada 28 April 1996 silam, di Astana Giribangun.
Dikutip dari Tribunnews.com, kompleks Astana Giribangun ini terletak di lereng Gunung Lawu pada ketinggian 660 meter di atas permukaan laut, tepatnya di di Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah, sekitar 35 km di sebelah timur kota Surakarta.
Di atas komplek Astana Giribangun, terdapat Astana Mangadeg, yakni komplek pemakaman para penguasa Mangkunegaran, salah satu pecahan Kesultanan Mataram.
Astana Mangadeg berada di ketinggian 750 meter dpl, sedangkan Giribangun pada 660 meter dpl. Di Astana Mangadeg dimakamkan Mangkunegara (MN) I alias Pangeran Sambernyawa, Mangkunegara II, dan Mangkunegara III.
Pemilihan posisi berada di bawah Mangadeg itu bukan tanpa alasan. Yakni untuk tetap menghormati para penguasa Mangkunegaran, mengingat Ibu Tien Soeharto adalah keturunan Mangkunegara III. (*)
Source | : | Tribunnews.com,Tribun Jatim |
Penulis | : | Veronica S |
Editor | : | Veronica S |
Komentar