GridPop.ID - Wanita identik dengan kecantikan.
Jika bicara kecantikan maka identik dengan make up.
Ya, wanita memang tak pernah lepas dengan make up.
Make up digunakan untuk mempercantik diri tentunya.
Kebanyakan wanita pasti tak pernah meninggalkan make up tools berupa lipstik.
Selain membuat wajah terlihat lebih segar, ternyata lipstik juga bisa melambangkan beberapa pesan lho gais.
Begitu juga dengan lipstik warna merah yang memiliki banyak kesan bagi penggunanya.
Yuk intip semua hal tentang lipstik merah di bawah ini!
Baca Juga: Lihat Kotor dan Joroknya Pabrik Lipstik Impor KW Ini Bikin Selera Belanja Makeup Langsung Hilang
Pada tahun 1912, ribuan pendukung gerakan hak memilih berbaris melewati salon Elizabeth Arden di New York. Arden merupakan pendiri merek kosmetik yang baru membuka bisnis dua tahun sebelumnya.
Ia mendukung penegakkan hak-hak wanita dan melakukan gerakan simbolik dengan membagikan lipstik berwarna merah terang kepada para wanita yang turut berbaris.
Pemimpin gerakan pendukung ini, yaitu Elizabeth Cady Stanton dan Charlotte Perkins Gilman, menyukai lipstik merah karena kemampuannya untuk menunjukkan rasa berani.
Warna ini diadopsi sebagai tanda pemberontakan dan pembebasan.
"Tidak ada simbol yang lebih sempurna atas hak memilih daripada lipstik merah. Sebab, simbol tersebut sangat kuat, sangat perempuan," kata penulis Red Lipstick: An Ode to a Beauty Icon Rachel Felder sebagaimana dikutip CNN.
Menurut Felder, selama berabad-abad, lipstik merah telah menyimbolkan banyak hal. Mulai penggunaan awal oleh elit di Mesir kuno, prostitusi di Yunani kuno, hingga simbol kemewahan di Hollywood.
"Lipstik merah benar-benar menjadi cara untuk menelusuri sejarah budaya dan semangat masyarakat di waktu tertentu," tambah Felder.
Tetapi, hingga saat lipstik dipopulerkan pada awal abad ke-20, bibir merah seringkali diidentikan dengan wanita yang tidak sopan.
Dahulu, bibir merah bahkan sempat dipandang sebagai simbol berbaur dengan iblis.
"Riasan wajah atau make up sempat dikaitkan dengan feminitas misterius dan menakutkan ini," kata Felder.
Dalam bukunya, Felder menjelaskan, ketika gerakan hak memilih di Amerika mengadopsi simbol bibir merah ini, para rekan seperjuangan secara internasional pun turut melakukannya.
Terus berkembang
Ketika gerakan perjuangan hak-hak perempuan menyebar ke seluruh Eropa, Selandia Baru, dan Australia, strategi militan pun menjadi lebih agresif.
Solidaritas ini meluas hingga penyimbolan melalui riasan wajah.
Terinspirasi oleh simbol gerakan di Amerika, pemimpin gerakan di Inggris Emmeline Pankhurst menggunakan cara yang sama untuk membantu menyebarkan gerakan simbolik ke sesama aktivis.
Meskipun gerakan tersebut mempopulerkan tampilan bibir merah pada zamannya, Felder mencatat telah adanya momentum penggunaan lipstik di kalangan wanita secara umum.
Simbol penggunaan lipstik merah saat protes ini juga mewujudkan gagasan wanita modern di Eropa dan Amerika.
Selama Perang Dunia II, bibir merah menjadi simbol pembangkangan kedua.
"Adolf Hitler terkenal membenci lipstik merah," ujar Felder.
Di negara-negara sekutu, menggunakan warna lipstik merah menjadi tanda patriotisme dan pernyataan simbolik menentang fasisme.
Pada tahun 1941 dan selama perang, lipstik merah menjadi wajib bagi para perempuan yang bergabung dengan Angkatan Darat AS.
"Menggunakan lipstik merah bagi perempuan di zaman itu sangat dihubungkan dengan harga diri wanita yang tangguh dan kuat," kata Felder.
Sekarang, simbol protes untuk memperjuangkan hak-hak perempuan ini pun semakin menyebar.
Desember lalu, hampir 10.000 perempuan di Chili turun ke jalan dengan mengenakan penutup mata berwarna hitam, syal merah, dan bibir merah untuk mengecam kekerasan seksual di negara tersebut.
Penggunaan lipstik merah pada bibir mereka menjadi simbol bahwa ada kekuatan yang sama dengan gerakan para pendukung hak memilih yang pernah terjadi satu abad sebelumnya.
Dalam semangat yang berani dan menantang dari lipstik dan bibir merah, warisan ini pun tetap hidup.
(*)
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Septiana Risti Hapsari |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar