Menurut Dicky, tidak masalah jika dilakukan testing untuk keperluan berpergian, untuk memastikan kondisi tubuh memang tidak terinfeksi dan membawa virus saat berpergian, serta bertemu banyak orang lain di luar sana.
"Itu kalau pergi-pergi ya enggak apa-apa (tes), tapi jangan masuk laporan, jadi performa (angka kasus) gitu. Ini yang salah kaprahnya di situ," kata Dicky.
Menurutnya, kapasitas testing yang seharusnya masuk dalam pelaporan adalah tes pada orang yang memang suspek atau terkait dalam pendeteksian penularan virus secara dini dalam mekanisme skrining.
"Kita harus akui bahwa cakupan tes Covid-19 di tanah air Indonesia masih sangat minim dan hanya menyasar pada orang bergejala untuk kategori suspek," lanjutnya.
Bahkan, tes yang dilakukan pada orang bergejala pun belum sesuai yang ditetapkan oleh WHO, yaitu 1 test per 1.000 orang per minggu dengan positive rate kurang dari 5 persen.
"Artinya, cakupan testing kita tidak sesuai dengan skala jumlah penduduk, tidak sebanding dengan eskalasi pandemi kita. Ini yang harus dijadikan indikator yang tidak boleh diabaikan," kata dia.
Tak hanya soal testing, Menkes Budi Gunadi Sadikin juga sempat dibuat kecewa dengan data dari Kementerian Kesehatan.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Septiana Hapsari |
Editor | : | Septiana Hapsari |
Komentar