Tak jauh dari mereka, berdiri petugas lain yang terdiri atas dokter, dan pegawai penjara. Komandan regu tembak berdiri agak ke samping dengan memegang sebilah pedang.
Dari tempatnya, sang komandan memberi aba-aba siap tembak kepada bawahannya berupa ayunan pedang.
Beberapa detik kemudian, muntahlah berondongan peluru menuju jantung Bobby. Tak lama setelah itu kepalanya tertunduk.
Dokter memeriksanya dengan stetoskop dengan diterangi baterai. Lima butir peluru bersarang di jantungnya. Dia dinyatakan meninggal saat itu juga.
Itulah akhir dari riwayat kejahatan yang panjang. Dimulai dari kejahatan kecil yang meningkat menjadi besar dan sering diwarnai dengan pembunuhan.
Terakhir, pada tahun 1963, dia merampok uang Rp24.500.000,00 milik suatu bank di lakarta dan membunuh dua karyawan bank itu. Dalam kasus ini, ia dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada bulan Desember 1964.
Tugas unik
Sebagai jaksa, saya tidak pernah membayangkan diperintah untuk memberitahukan dan menyaksikan hukuman mati atas diri terhukum.
Kasus atas dirinya sudah lama dan jaksa yang menyidangkan telah pindah jauh. Sementara upaya banding, kasasi dan grasi ditolak sehingga putusan pengadilan harus segera dilaksanakan.
Kalau tidak, dikhawatirkan dia akan lari. Tugas utama saya sebagai jaksa eksekusi adalah mempersiapkan, melaksanakan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan eksekusi.
Ini merupakan pengalaman pertama. Reaksi saya, tugas yang berat ini akan saya laksanakan sebaik-baiknya. Jarang orang yang mendapat tugas seunik ini.
Saya memerlukan persiapan rohani karena menyangkut nyawa manusia. Tidak lupa saya menemui orang tua dan memberitahukan bahwa saya akan mendapat tugas penting, tanpa menjelaskan tugas itu.
Saat yang paling berat adalah ketika saya harus memberi tahu terhukum tiga hari sebelum eksekusi. Pemberitahuan itu harus mendadak.
Saya memerintahkan petugas penjara menyiapkan ruangan yang terang dan bisa dilihat dengan jelas serta dihindarkan dari alat-alat yang memungkinkan terdakwa bunuh diri.
Atas pertimbangan keamanan, ruangan itu juga harus dijaga ketat. Pagi itu saya dan seorang teman tugas telah siap di tempat.
Dua orang petugas menjemput dan mengawal Bobby dari selnya. Dia keluar dengan tangan diborgol menuju ruangan tempat saya berada.
Di tempat ini dia duduk berhadapan dengan saya pada jarak sekitar 4 m. Wajahnya tidak menampakkan kecemasan.
Beberapa orang polisi juga menyaksikan jalannya peristiwa itu. Saya membawa berkas penolakan kasasi dan grasi.
Walaupun hanya bersifat pemberitahuan, forum ini resmi dan harus dibuatkan berita acara. Segera saya memperkenalkan diri.
"Saudara Bobby, saya Darto. Berdasarkan surat perintah, saya ditugaskan menemui Saudara. Apakah benar Saudara yang bernama Bobby?"
Dia menjawab, "Benar."
"Sebagaimana diketahui, Saudara telah merampok serta mengakibatkan matinya orang, karena itu pengadilan negeri sudah memutuskan hukuman mati. Apakah pernyataan saya ini betul?"
Dia membenarkan.
"Berdasarkan keputusan pengadilan tinggi hukuman itu dikuatkan Mahkamah Agung dalam keputusan kasasinya juga menolak permohonan kasasi Saudara. Selanjutnya Saudara mengajukan grasi dan berdasar Kepres yang saya terima, permohonan grasi Saudara ditolak Presiden. Oleh karena itu, tidak ada upaya hukum lain bagi Saudara dan hukuman mati akan dilaksanakan tiga hari lagi," jelas saya.
Dia nampaknya tidak menyesal dan hanya berkata, "Ya ...."
Karena hukuman mati akan dilaksanakan, saya menanyakan lebih lanjut, "Apakah pada saatnya nanti Saudara ingin didampingi penasihat rohani?"
"Tidak," katanya.
Sebaliknya, dia minta agar dihadirkan saudaranya. Permintaan ini dipenuhi sehari sebelum eksekusi.