Sumur berdiameter 50 sentimeter itu menyerupai kawah kecil dan mengeluarkan letupan gas disertai lumpur.
Ketua Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Siswandi Kastari menduga, fenomena tersebut merupakan bentuk kemunculan gas rawa.
Hal tersebut dipengaruhi sejarah geologi kawasan Dusun Gayamsari yang dulunya merupakan rawa-rawa.
“Secara posisi, dulunya kawasan itu merupakan bekas dari sistem Segara Anakan. Jadi sangat wajar jika di bawah tanah terdapat endapan sedimen yang kaya material organik,” katanya saat dihubungi, Selasa (9/10/2018).
Material organik tersebut, kata Siswandi, dalam kurun waktu lama mengalami proses pembusukan dan diagenesa.
Proses inilah yang akhirnya menghasilkan gas rawa yang terdiri dari unsur gas metan (CH4), carbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), hidrogen sulfida (HS), dan sulfur (S).
“Gas ini dapat keluar ke permukaan setiap saat, hanya saja intensitasnya lebih tinggi ketika kemarau karena ada retakan di lapisan tanah permukaan. Kebetulan di permukaan kondisinya kering sehingga terlihat meletup-letup seperti mud volcano,” ujarnya.
Dari segi risiko, Siswandi menyebut, gas rawa di Cilacap tidak terlalu berbahaya karena muncul di ruang terbuka.
Meski demikian, gas rawa tetap berbahaya karena membawa serta CO dan CO2 yang berbahaya, tetapi tidak berwarna dan tidak berbau.
“Yang membuat gas itu terbakar karena mengandung gas metan, dalam kapasitas besar, gas metan dapat memicu ledakan, namun melihat yang di Cilacap saya kira tidak berbahaya,” pungkasnya.
Terpisah, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap Tri Komara mengatakan, petugas telah meninjau lokasi pada Selasa (8/10/2018).
Dia mengimbau kepada warga untuk tidak terlalu dekat dengan bibir sumur.
“Kami mengimbau warga untuk tidak terlalu dekat dengan sumur karena kemungkinan mengandung gas yang berbahaya, dan tidak menyalakan api di lokasi karena dapat menimbulkan kebakaran,” ujarnya.
GridPop.ID (*)