Dilansir dari Pustaka Budaya Sumba (1976), kawin tangkap dilakukan oleh para pria Sumba sebagai upaya untuk keluar dari budaya matriarki yang masih ada di masyarakat Sumba.
Budanya matriarki adalah dominasi kepemimpinan perempuan dalam masyarakat yang menurun dari garis ibu.
Dalam kebiasaan matriarki, laki-laki Sumba merasa bahwa hak mereka sebagai kepala keluarga tidak ada.
Keinginan untuk menjadi kepala keluarga yang mempunyai hak menuntun laki-laki untuk memilih kawin tangkap.
Tujuanya, agar dapat tinggal di lingkungan keluarga laki-laki dan menjadi keluarga yang otonom.
Makna tradisi kawin tangkap
Makna kawin tangkap biasanya dikaitkan dengan berbagai macam persoalan.
Dikutip dari Jurnal Kawin Tangkap karya Elsiati Tanggu, dkk (2021), makna kawin tangkap dimaksudkan untuk mengangkat derajat atau sekadar menghilangkan rasa malu pihak keluarga laki-laki.
Namun, salah satu tokoh masyarkat di Desa Mareda Kalada, Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) menuturkan bahwa makna tradisi kawin tangkap dulu dan sekarang mengalami pergeseran.
Dahulu, tradisi kawin tangkap bermakna sebagai upaya laki-laki untuk menangkap wanita yang diidamkannya sekalipun wanita tersebut sudah bersuami.
Dalam praktiknya, kawin tangkap dahulu, laki-laki tetap memberikan mahar bagi keluarga perempaun sesuai dengan ketentuan adat istiadat.
Perempuan yang ditangkap secara paksa tidak akan melarikan diri karena jika hal itu dilakukan dia akan kesulitan mendapat jodoh karena namanya sudah tercemar.
Saat ini makna tradisi kawin tangkap dinilai sudah berubah.
Kawin tangkap saat ini dilakukan dengan berbagai macam persoalan, seperti janji antara laki-laki dan wanita, janji orang tua yang diingkari sehingga terjadi praktik kawin tangkap dengan dalil menghilangkan rasa malu.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Viral, Video Kasus Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya, NTT, Apa Itu?"
(*)