GridPop.ID - Di Kota Pekalongan, banyak kasus gugatan cerai yang diajukan oleh istri kepada suami.
Rata-rata, faktor ekonomi menjadi penyebab sang istri meminta bercerai dari suaminya.
Di antara ratusan gugatan cerai di Kota Pekalongan, terdapat kisah miris salah satu suami yang digugat cerai istri tanpa sepengetahuan dirinya.
Baca Juga : Pengakuan Mengejutkan Ayah Kandung Nikita Willy, Sakit Usai Cerai Tapi Tak Sekalipun Dibezuk Anaknya
Dilansir GridPop.ID dari Tribun Jateng, Kamis (2/5), data dari Pengadilan Agama Kelas I A Kota Pekalongan, dari Januari hingga Mei 2019 mencatat jumlah gugatan cerai yang dilakukan perempuan mencapai 173.
Sedangkan untuk pengajuan cerai oleh lelaki mencapai 65 kasus.
Dari kasus penceraian yang diajukan oleh perempuan, pihak Pengadilan Agama menyebutkan wilayah Kecamatan Pekalongan Utara paling banyak melakukan gugatan cerai terhadap suaminya.
Baca Juga : Kisah Pilu Wiji Fitriani, Depresi Usai Orang Tua Cerai hingga Tak Sadar Gigiti Jari-jari Tangannya Sendiri
Satu di antara warga Kecamatan Pekalongan Utara yang digugat oleh sang istri yakni Nur Rohman.
Pria berusia 45 tahun itu sempat terpukul tatkala mendapat surat gugat cerai dari pengadilan yang dibuat oleh sang istri.
"Saya sudah tidak bertemu dengan istri selama 7 tahun karena istri saya bekerja di luar negeri," paparnya kepada Tribun Jateng, Kamis (2/5/2019).
"Kalau saya bekerja di sini sebagai nelayan. Tiga bulan lalu gugatan cerai saya terima," imbuhnya.
Tak menyangka, Nur merasa istrinya tega melayangkan gugatan cerai.
Padahal ia menunggu kedatangan sang istri yang bekerja sebagai TKI di luar negeri.
"Setelah saya terima surat gugatan cerai, saya mencari istri saya. Ternyata dia sudah membawa dua anak. Saya yakin keduanya bukan anak saya," jelasnya.
Melihat kondisi tersebut, Nur pun menanggapi gugatan cerai ke Pengadilan Agama kelas I A Kota Pekalongan.
"Ya Alhamdulillah kini sudah resmi cerai. Pengurusannya sangat lumayan cepat hingga mendapatkan legalitas cerai dari negara," ujar pria tersebut dengan wajah lesu.
Humas Pengadilan Agama Kelas I A Kota Pekalongan, Hamid Ansori, membenarkan jumlah gugatan cerai dari istri di Kota Pekalongan lebih banyak dari pengajuan suami.
"Dari awal tahun jumlah perceraian di Kota Pekalongan mencapai 238. Khusus gugatan dari istri mencapai 173," kata Hamid.
"Data tahun lalu hingga Agustus, jumlah perceraian ada 320 kasus. Didominasi oleh gugatan dari istri yang mencapai 250," jelasnya.
"Tahun ini baru empat bulan lebih sudah 238 kasus. Berarti mengalami peningkatan karena belum ada lima bulan sudah separuh lebih dibanding tahun lalu," imbuhnya.
Hamid menambahkan, baik tahun ini ataupun tahun lalu daerah Pekalongan Utara merupakan daerah terbanyak untuk urusan gugatan perceraian yang dilayangkan oleh istri.
"Untuk data jumlah perceraian di Pekalongan Utara, kami harus membuka file lama. Tapi memang mayoritas untuk jumlah gugatan cerai istri paling banyak di Pekalongan Utara. Dan pemicunya karena ekonomi ataupun pihak ketiga," tambahnya.
Baca Juga : Menikah dengan Mahar Rp 1,4 Miliar, Kakek asal Sulawesi Selatan Ceraikan Mahasiswi Diduga Karena Selingkuh
Tidak hanya tahun 2019 ini, tiga tahun lalu faktor ekonomi juga menjadi alasan perceraian tinggi di Pekalongan.
Dikutip dari Antara News, Panitera Muda Pengadilan Agama Kota Pekalongan, Faizal Ghozi, mengungkapkan kasus perceraian di Kota Pekalongan didominasi faktor ekonomi.
"Kegonjangan ekonomi pasangan suami istri mengakibatkan mereka memilih bercerai. Selain faktor ekonomi, angka perceraian juga disebabkan suami tidak bertanggung jawab terhadap kebutuhan keluarga," katanya, dikutip dari Antara News 25 Oktober 2016.
Baca Juga : Usai Bercerai, Nenek Ini Berkencan dengan 200 Pria Berondong yang Dianggap Sebagai Obat Awet Muda!
Faizal berkata, kasus perceraian ini sebagian besar merupakan perkara gugat cerai yang diajukan oleh pihak istri.
"Alasannya, pihak suami dinilai kurang memberikan nafkah bahkan diabaikan," katanya. (*)
Source | : | Tribun Jateng,ANTARA News |
Penulis | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar