GridPop.id - Nike Indria (23) tak bisa melupakan kejadian di bulan Februari 2019 lalu, ketika membantu menangani persalinan seorang ibu. Cerita tersebut sangat membekas karena membetot rasa kemanusiaannya. Ceritanya menjelang subuh ada seorang keluarga pasien datang ke tempat tinggalnya sebagai bidan di Puskesamas Pembantu (Pustu) di Desa Satenger, Pangkep, Sulsel.
Ia diminta untuk membantu persalinan Rosana. Awalnya persalinan tersebut ditangani seorang dukun bayi desa setempat, tetapi karena ada masalah sang dukun bayi tidak mampu mengatasi sehingga meminta bantuan dirinya.
Begitu datang ia melihat kondisi ibu yang baru pecah ketuban itu memburuk dan sangat mengkhawatirkan. “Komplikasi menjelang kelahiran membuat Bu Rosana selain kesakitan, juga kadang dibarengi dengan kejang-kejang tak sadarkan diri,” kata Nike Indria, ketika ditemui di Puskesmas Pulau Sailus, tempat Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA) memberikan pelayanan kesehatan.
SEMBILAN JAM YANG MENDEBARKAN
Melihat kondisi yang mengkhawatirkan Nike angkat tangan. Ia tak memiliki kemampuan cukup untuk menangani persalinan seperti yang dialami Rosana yang berisiko tinggi. Satu-satunya jalan ibu yang melahirkan untuk anak keduanya tersebut harus segera dirujuk ke rumah sakit di Sumbawa. Sumbawa dianggap lebih dekat.
Meski memasuki wilayah provinsi lain tetapi “hanya” membutuhkan waktu 9 jam perjalanan laut dianggap waktu paling cepat, dibandingkan harus ke Makassar yang memerlukan waktu dua hari dua malam lamanya.
Tanpa membuang waktu, di tengah kepanikan, di hari yang masih gelap tersebut suami Rosana mencari perahu nelayan disewa untuk membawa istrinya ke rumah sakit di Sumbawa. “Tetapi dasar apes, posisi perahu itu kandas baru bisa jalan pukul 07.00 pagi menunggu sampai air pasang,” kata Nike yang saat itu dia stres karena harus berjuang dengan waktu untuk menyelamatkan nyawa si ibu dan anak dalam kandungannya.
Nike tak bisa melupakan masa yang penuh keteganggan di sepanjang perjalanan. Ketika perahu yang ditumpang membelah laut yang bergelombang dia juga berusaha dengan kemampuan yang dimiliki menjaga menstabilkan kondisi tubuh Rosana yang naik turun tak menentu.
Ia masih ingat ketika baru setengah perjalanan dan perahu melintas di sekitar Pulau Moyo, tiba-tiba Rosana fisiknya memburuk. Ibu yang bersuamikan seorang nelayan tersebut tiba-tiba kejang-kejang tak sadarkan.
Meski panik ia berusaha tenang. Agar tak melukai bibir dan lidahnya, bibir Rosana yang mengatup kuat itu diganjal menggunakan sendok. “Tak bisa digambarkan bagaimana tegangnya saat itu. Kepala saya yang semula agak pusing dan mual karena goncangan ombak langsung mendadak hilang,” kata gadis asal Desa Satanger yang sudah mengabdi bertahun-tahun sebagai bidan honorer harian tersebut.
Di tengah kekalutan amat sangat tersebut, yang terlintas di benak Nike hanya satu bagaimana perahu tersebut melaju dengan cepat sehingga bisa segera tiba di Sumbawa. “Karena saya tahu kondisi Bu Rosana sudah sangat kritis. Ibaratnya ini adalah perjuangan antara hidup dan mati,” imbuhnya.
Setelah menempuh perjalanan yang sangat mendebarkan baru sekitar pukul 16.00-an perahu yang membawa Rosana bersama keluarga besarnya merapat di dermaga Sumbawa. Tanpa membuang waktu Rosana bergegas dibawa menuju RSUD Sumbawa menggunakan angkutan umum.
Beruntung, dokter kebidanan seketika itu langsung menangani dengan cepat. Melalui proses operasi caesar lahir bayi perempuan lahir dengan selamat. Tetapi, lagi-lagi paska persalinan kondisinya kesehatan Rosana kembali memburuk, hingga pukul 21.00 dokter tidak mampu mengatasi dan akhirnya nyawa Rosana tidak tertolong.
Begitu meninggal dunia sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat jenazah Rosana tidak dibawa pulang tetapi dimakamkan di Sumbawa. Bagi warga kepulaun itu ada semacam pantangan perahu digunakan untuk membawa jenazah. “Masyarakat yang ada di pulau sini seperti itu. Jadi mau tak mau jenazah mendiang Ibu Rosana dimakam di seberang,” papar Nike yang sampai saat ini bila teringat peristiwa tersebut tak bisa membendung air matanya.
Sebagai masyarakat kepualauan Nike meminta pemerintah turun tangan secara serius menyediakan sarana kesehatan yang merata sekaligus dengan seorang dokter. Agar kejadian seperti Rosana itu tidak terulang. “Yang dialami Rosana ini adalah satu dari sekian kejadian yang seringlkali terjadi,” kata Nike yang gajinya sebagai tenaga bidan harian lepas Rp 500 ribu per bulan itu pun baru diterima setiap 3 atau 4 bulan sekali.
MENINGGAL DI PERJALANAN
Kisah memilukan tentang minimnya pelayanan kesehatan itu juga dialami oleh Syahri Rudi, warga Desa Sailus, Kecamatan Liukang Tangaya, Pangkep. Mendiang Syahri pada tahun 2018 lalu meninggal diatas kapal dalam perjalanan dari Sailus menuju Makassar, setelah terkena serangan stroke mendadak. “Bapak meninggal dunia diatas kapal perintis menuju Makassar,” kata Ny. Darmawan, istri Syahri ketika ditemui di rumahnya di Desa Sailus.
Apa yang dialami oleh Syahri adalah sebuah ironi. Bapak dua anak tersebut adalah adalah perawat senior yang telah puluhan tahun mengabdikan dirinya sebagai tenaga kesehatan bagi warga masyarakat kepulauan. Tetapi meski dirinya sebagai pejuang kesehatan tetapi akhirnya harus meninggal dunia di atas kapal ketika berjuang mencari kesembuhan ke Makassar.
Pada tahun 1982, Syahri pindah dari Pulau Sapuka, untuk mengabdikan diri menjadi tenaga perawat di Pustu Pulau Sailus. Kendati saat itu Sailus jauh terbelakang, namun tidak menjadi penghalang bagi dirinya untuk mengikhlaskan diri mengabdikan untuk masyarakat di wilayah kepulauan itu.
Setiap hari masyarakat kepualauan datang kepadanya untuk mencari kesembuhan. Karena saat itu tenaga medis sangat langka, sehingga mau tak mau dalam kondisi tertentu dirinya dituntut berperan ganda untuk menghadapi berbagai jenis sakit yang diderita masyarakat.
Bahkan demi bisa melayani dan mengobati pasien dari satu pulau ke pulau lain, Syahri membuat sampan atau perahu kecil sebagai sarana transportasi untuk menjangkau berbagai pulau kecil lainnya. Ia tak peduli dengan keselamatan diri sendiri saat harus berjuang menembus ganasnya gelombang.
Semua itu bukan semata-mata mencari imbalan. Karena ketika mengobati pasien, Syahri sama sekali tidak penah mematok tarif jasanya, bahkan bagi pasien tidak mampu dia sengaja menggratiskan. “Bapak tidak mencari duit semata, tetapi lebih mengutamakan kemanusiaan,” papar Darmawan, yang bertemu dan menikah dengan Syahri di Desa Sailus.
Karena kedekatannya dengan masyarakat, ketika menjelang masa pensiun sebagai tenaga kesehatan di Puskesmas pun, masyarakat dari berbagai pulau masih kerap datang ke rumahnya untuk mencari kesembuhan. “Tetapi, kalau pas jam kerja bapak tidak mau melayani. Bapak minta pasien datang ke Puskesma di Desa Sailus yang sekarang memang sudah ada tenaga perawat dan bidan. Bapak baru mau melayani diluar jam dinas,” imbuh Darma yang dikaruniaia dua anak dalam pernikahannya dengan mendiang Syahri.
Namun suatu hari pada tahun 2018 sebuah peristiwa terjadi. Tiba-tiba ketika sedang tidur siang suaminya terkena serangan stroke. Singkat cerita, karena saat itu bertepatan datang kapal perintis ke pulaunya, maka suaminya langsung diboyong naik menuju rumah sakit di Makassar agar mendapat perawatan.
Karena suaminya sudah sangat dikenal pengabdiannya, sehingga selain tenaga kesehatan dari Puskesmas sampai camat dan perangkat desa ikut mengantarkan ke Makassar. Tetapi Tuhan berkehendak lain, setelah sehari semalam diatas kapal keesokan, masih harus setengah hari lagi sampai Makassar Syahri meninggal dunia.
“Kami semua tidak bisa berbuat sesuatu kecuali hanya sedih,” papar Darma sambil mengatakan seandainya di wilayah kepulauan tempat tinggalnya ada dokter dan sarana kesehatan memadai, maka peristiwa yang menimpa suamimya tidak akan terjadi.
BUTUH 100 RUMAH SAKIT TERAPUNG
Direktur Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA), dr. Agus Harianto, SpB, menyatakan dirinya sangat prihatin dengan perbedaan yang mencolok antara pelayanana kesehatan antara masyarakat perkotaan dengan warga yang ada di wilayah kepulauan. “Memang, antara kota dengan kepulauan tidak mungkin bisa sama. Tetapi yang terjadi sekarang jurang perbedaan itu sangat lebar,” kata dr. Agus, yang membawa RSTKA yang dipimpinnya mengadakan pelayanan kesehatan di berbagai kepualaun di wilayah Sulsel.
Dokter Agus menjelaskan ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah agar jurang ketimpangan pelayanan itu bisa dipersempit. Pertama, dilakukan penataan ulang rumah sakit di daerah kepulauan. Seharusnya di setiap 75 mil laut seharusnya berdiri satu rumah sakit sekaligus dengan dokter spesialis di dalamnya. Angka 75 mil itu dijadikan patokan, karena untuk perahu mampu memempu perjalanan pada radius itu 10-12 jam lamanya.
Kedua, Indonesia memiliki 17.500-an pulau, 2.500-an pulau diantaranya berpenghuni. Belajar dari pengalaman RSTKA dalam setahun hanya mampu menjelajah 25 pulau terpencil. Maka idealnya agar masyarakat kepulauan terlayani dengan baik maka harus ada 100 rumah sakit terapung yang melayani.
Dokter Agus, memaparkan sejak dua tahun lalu diresmikannya RSTKA sudah puluhan pulau disinggahi, dan ribuan pasien yang sudah dilayani. Tetapi semakin masuk ke pedalaman semakin tergambar jelas betapa ketimpangan itu terjadi. “Padahal, kesehatan itu adalah hak paling mendasar dari setiap warga negera seharusnya hal itu tidak boleh terjadi,” katanya.
Agus menilai Indonesia sebagai negara maritim dimana ada ribuan pulau diatasnya, maka yang paling pas adalah dibuatkannya kapal rumah sakit terapung. Kapal rumah sakit sangat ideal karena bisa mobile ke berbagai lokasi terpencil.
Keberadaan RSTKA sebenarnya hanya sebagai pemantik karena tidak selamanya ada. Tujuannya agar daerah terutama yang wilayahnya dikelilingi oleh lautan menyediakan sarana sejenis. “Kalau setiap propinsi apalagi sampai level kabupaten menyediakan layanan kesehatan seperti RSTKA yang lakukan maka persoalan kesehatan di kepulauan akan selesai,” imbuh Agus.
MENOLAK DITEMPATKAN
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep, dr. Indriany Latif, MKes, ketika dihubungi, Selasa (5/11) mengakui bahwa pelayanan kesehatan pada masyarakat di kepualauan Pangkep memang sangat timpang dibanding dengan perkotaan. “Kami akui belum belum bisa memberikan pelayanan yang memadai, karena selain fasilitas sekaligus tenaga dokter juga sangat minim,” kata Indriany.
Indriany kembali menegaskan bahwa saat ini memang tidak ada dana khusus dari pusat untuk pengadaan fasilitas kesehatan, misalnya kapal rumah sakit yang secara khusus mobile dari satu pulau ke pulau lain secara berkelanjutan. “Selain itu tenaga dokter juga tidak ada sehingga mengandalkan tenaga perawat atau bidan saja,” papar Indriany.
Soal tenaga dokter lanjut Indriany memang cukup pelik. Pihak pemerintah daerah sebenernya sudah berupaya menempatkan dokter umum di beberapa Puskesmas di kawasan kepualana. Tapi persoalannya tidak semua dokter bersedia ditempatkan disana. Pada tahun lalu misalnya, sebenarnya Pangkep ada empat orang dokter yang akan ditempatkan di kecamatan Liukang Tangaya, Liukang Kalmas serta pulau-pulau sekitar. Tetapi begitu mereka tahu akan ditempatkan di kawasan jauh dari perkotaan para dokter tersebut tidak bersedia dan langsung mengundurkan diri sebagai ASN dan memilih praktiek di perkotaan. “Jadi soal pemerataan dokter ini tidak mudah,” imbuhnya.
Kendati demikian pihak pemda tetap berusaha maksimal agar masyarakat kepualauan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Salah satunya dalam waktu dekat ada ambulance air hibah dari propinsi Sulsel yang diberikan kepada Kabupaten Pangkep yang rencannya akan ditempatkan di Liukang Tangaya. “Insya Allah Desember sudah bisa kita luncurkan dan untuk melayanai pulau-pulau yang ada di sekitar Liukang Tangaya,” jelasnya.
Di dalam ambulans tersebut kelak ada perawat dan bidan yang tujuannya untun mengambil pasien di beberapa pulau yang membutuhkan pertolongan untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.
Selain itu Indriany juga mengakui bidan dengan status tunjangan harian di kepualauan dibayar sebesar Rp 500.000 per bulan. Menurutnya bahwa Pemda tidak memiliki cukup dana untuk membayar para bidan tersebut dengan nilai yang lebih layak. “Mereka itu sebenarnya adalah tenaga sukarela tetapi apapun kami tidak mungkin tinggal diam saja makanya kami bayar sesuai dengan kemampuan keuangan yang ada yaitu Rp 500.000 bulan dan baru kami cairkan setiap 3 bulan sekali,” katanya.
Salah satu alasan Pemda belum bisa membayar dengan nilai yang layak, sebab bidan yang masuk status THL (tenaga harian lepas) tersebut untuk Pemda Pangkep saat ini jumlah mencapai 5000 orang, “Tenaga kesehatan itu tidak hanya di kepulauan, saja tetapi juga ada di desa-desa bahkan pegunungan,” imbuhnya. (*)
Gandhi Wasono M
Komentar