GridPop.ID - Bak mendapatkan durian runtuh, nasib baik rupanya menghujani Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
Setelah bebas murni dari sel Mako Brimob pada Januari 2019 lalu, kini Basuki Tjahaja Purnama kembali diberi kepercayaan lagi untuk menjadi seorang pemimpin.
Mantan suami Veronica Tan tersebut telah ditetapkan menjadi Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina.
Dikutip dari Tribunnews.com, hal tersebut diungkapkan Menteri BUMN Erick Thohir melalui wawancara yang dilakukan Kompas TV pada Jumat (22/11/2019).
Dengan masuknya Ahok menjadi Komut Pertamina, maka ia akan menggantikan posisi Tanri Abeng yang sebelumnya menjabat.
Tak sendiri, Ahok pun akan ditemani Budi Gunadi Sadikin yang akan menjadi Wakil Komisaris Utama Pertamina.
"Insya Allah sudah putus dari beliau, Pak Basuki akan jadi Komut Pertamina. Ahok akan didampingi pak Wamen Budi Sadikin jadi Wakil Komisaris Utama," kata Erick di Istana Negara, Jakarta, Jumat (22/11/2019).
Diberitakan Kompas.com, media internasional mengulas Ahok atas jabatan barunya itu karena dianggap sebagai sosok penggebrak.
Media internasional seperti Nikkei Asian Review memilih judul Former Jakarta governor makes comeback in prominent Pertamina role.
Dalam ulasannya, harian yang berbasis di Tokyo itu mengulas penjelasan Erick tentang mengapa Ahok dipilih sebagai Komisaris Utama Pertamina.
Diwartakan Reuters via Euronews, Pertamina menghadapi serangkaian target, seperti memotong impor energi dan meningkatkan kapasitas kilang.
"Kami membutuhkan seseorang yang bisa melakukan terobosan. Kami butuh sosok penggebrak itu (di Pertamina)," kata Menteri Erick.
Politisi PDI-P itu bakal dipercaya untuk membenahi perusahaan energi pelat merah yang pernah disebut sebagai "negara dalam negara" itu.
Sebab, Pertamina sebelumnya memegang hak untuk memberikan konsesi minyak dan gas kepada perusahaan lain, dilaporkan Nikkei.
Perusahaan yang pernah menjadi lumbung uang Indonesia di periode 1967-1998 itu acap dikritik karena birokrasinya terlalu gemuk dan tidak efektif.
Selain itu, seperti diberitakan media Singapura The Straits Times, Pertamina yang merupakan BUMN strategis juga disebut dilanda korupsi.
September lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bambang Irianto tersangka terkait dugaan suap perdagangan mintak mentah dan produk kilang Pertamina.
Penunjukkan Ahok sebagai komisaris utama tenty tidak semua setuju. Ada juga sekelompok orang yang menyeruakan penolakannya.
Seperti Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Arie Gumilar yang mengaku membentangkan spanduk penolakan.
Mengutip dari Tribunnews.com, Kompas.com bertanggal 18 November 2019 memaparkan apa saja tuntutan yang dituangkan dalam spanduk tersebut.
Di antaranya, Pertamina wajib utuh, tolak siapa pun yang suka bikin rusuh, memilih figur tukang gaduh, dan bersiaplah Pertamina segera runtuh.
Menanggapi isu tersebut, Erick pun memberikan pembelaan. "Berikan kami waktu untuk bekerja, dan mari kita lihat hasilnya," paparnya.
Setelah mengumumkan bahwa Ahok menjadi Komut Pertamina, Erick juga menjelaskan bahwa Ahok akan segera mulai bekerja bahkan mulai hari Jumat lalu atau paling cepat Senin depan.
"Kalau BTN kan rapat umum pemegang sahamnya nanti akhir bulan ini. Kalau Pertamina kan PT bukan Tbk, jadi bisa segera proses. Bisa hari ini atau senin," terang Erick Thohir.
Dilansir dari Tribun Timur, berdasar laporan kinerja keuangan Pertamina pada 2018, disebutkan jika kompensasi untuk manajemen yang berupa gaji dan imbalannya untuk 17 direksi dan komisaris mencapai 47,23 juta dollar AS atau setara Rp 671 miliar per tahun.
Jika Rp 671 miliar dibagi kepada 17 orang direksi dan komisaris, maka tiap orang menerima Rp 39 miliar setahun atau Rp 3,25 miliar per bulan.
Gaji direksi dan komisaris Pertamina mengalahkan gaji dan tunjangan Presiden Jokowi senilai Rp 62,74 juta per bulan.
Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi Negara dan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 2001.
Sementara itu gaji pokok dan tunjangan Gubernur DKI Jakarta, jabatan yang pernah diduduki Ahok, ialah senilai Rp 8,4 juta per bulan.
Namun, setiap bulan Gubernur DKI Jakarta mendapatkan Biaya Penunjang Operasional (BPO) sebesar 0,13 persen dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) berdasarkan PP Nomor 109 Tahun 2000.
Setiap bulan, BPO Gubernur DKI Jakarta mencapai miliaran rupiah. (*)
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar