GridPop.ID - Indonesia masih memiliki jalan panjang untuk menekan angka kemiskinan.
Hal itu terbukti masih ada warganya yang hidup memprihatinkan dengan mengandalkan belas kasihan dari orang lain.
Salah satunya dialami oleh pasangan suami istri di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini yang hidup serba keterbatasan.
Diberitakan Kompas.com, Martinus Adat (64), seorang suami sekaligus ayah penderita tunaetra di Kampung Mano-Nancang, Keluarahan Mandosawu, Manggarai Timur, Flores, NTT, tetap setia merawat istri dan anaknya yang menderita gangguan jiwa.
Pria yang sejak lahir sudah tidak bisa melihat ini dengan keterbatasannya, merawat bahkan memasak untuk istrinya, Paulina Dihus, serta anak sulungnya, Fransiska Jemita (26).
Keluarga kecil ini tinggal di Kampung Mano-Nancang yang berada di pedalaman Manggarai Timur, Flores.
Jarak dari Kota Borong, Ibu Kota Kabupetan Manggarai Timur ke Kampung Mano-Nancang ekitar 43 kilometer.
Martinus dan keluarganya tinggal di sebuah rumah reyot berukuran 5x6 meter, berlantai semen, berdinding papan, dan beratap seng.
Namun, kondisi di dalamnya sangat tak layak. Dua tempat tidur dan kelambunya sudah usang.
Di ruang tamu, ada meja tua serta dua bangku panjang untuk mereka duduk atau untuk menyambut tamu yang berkunjung. Dapur rumah juga terlihat sangat memprihatinkan.
Saat dikunjungi, Jumat (13/12/2019), Martinus bercerita sebelum istrinya sakit, keduanya bahu membahu menghidupi keluarga.
Namun ketika istrinya sakit pada 2007 lalu, Martinus harus berjuang sendirian menghidupi rumah tangga.
"Untuk menghidupkan keluarga, saya menerima beras dari tetangga atau keluarga atau orang yang memiliki kecukupan yang berkunjung saat berkunjung ke rumah. Hidup kami atas belas kasihan tetangga dan orang yang selalu mengunjungi rumah kami," ujar Martinus.
Dengan keterbatasan itu, Martinus tidak bisa bekerja.
Tetangga Martinus, Donikus Wangku menjelaksan, Martinus memasak untuk keluarganya setiap hari.
Martinus bisa meraba beras, periuk dan meletakkan periuk di tungku api.
Beras yang diperoleh keluarga ini dari belas kasihan dari tetangga atau warga lain.
"Kondisinya sangat memprihatinkan dan penuh sengsara," tutur Wangku.
Wangku menjelaskan, keluarga ini selalu berada di dalam rumah.
Selain tetangga sekitar, beberapa kali suster atau petugas dari Paroki mengantar beras untuk dimasak.
Beberapa kali Martinus mendapatkan uang dari warga. Uang itu digunakan untuk membeli sayurang dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
"Masakan nasi dan sayur dari Bapak Martinus sangat enak untuk mereka makan bertiga," ujar Wangku.
Tunanetra sejak kecil
Wangku menjelaskan, dari berbagai cerita tetangga, Martinus mengalami tunanetra sejak lahir.
Beberapa tahun silam, Martinus pernah dirawat di salah satu panti di Kupang serta dilatih kepekaan.
Ia dilatih untuk bisa meraba uang atau benda lainnya di pantai tersebut.
Setelah memiliki keterampilan itu, Martinus pulang ke Kampung Mano Nancang dan menetap di kampung tersebut.
Ia kemudian menikah dengan Paulina. Dari pernikahannya, Martinus memiliki dua anak.
Anak sulungnya, Fransiska dan Berno Edon (14) yang kini duduk di kelas II SMPN 6 Mano. Berno mendapatkan beasiswa untuk sekolah.
Wangku menjelaskan, anaknya yang sakit biasa cari kayu api untuk masak. Namun, kadang-kadang anak itu hanya bisa membawa beberapa batang kayu.
Fransiska sakit parah tahun 2007 lalu. Dia jalan-jalan sendirian, bicara sendirian, dan tidur larut malam.
Tak banyak yang diminta Martinus. Ia hanya ingin ada orang yang bisa memperbaiki dapurnya agar ia bisa memasak untuk anak dan istrinya.
"Saya minta dapur yang reyot diperbaiki sehingga saya bisa masak di dapur yang baik," ujar Martinus.
Berkaca dari kisah keluarga Martinus itu, Indonesia seolah tak pernah terbebas dari jeratan kemiskinan.
Masih mengutip dari Kompas.com, anggota Komisi IV DPR RI Nevi Zuairina mengatakan, pengkaterogian penduduk miskin di Indonesia berada di bawah standar dunia.
Baca Juga: Dicuekin Reino Barack yang Lagi Asyik Main Game, Begini Reaksi Manja Syahrini, Kesal?
"Standar kemiskinan dunia itu 2 dollar AS, sedangkan di kita hanya 1 dollar AS. Jika kita mengikuti standar dunia, maka akan terjadi lonjakan yang sangat drastis di negara kita," kata Nevi, seperti dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/11/2019).
Pada Maret 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis standar garis kemiskinan masyatakat Indonesia adalah Rp 425.250 per kapita per bulan.
Adapun komposisi garis kemiskinan makanan Rp 313.232 (73,66 persen) dan garis kemiskinan bukan makanan Rp 112.018 (26,34 persen).
Hal tersebut menunjukkan bahwa orang miski Indonesia memiliki pendapatan sebesar Rp 14.175 setiap harinya atau sekitar 1 dollar AS. (*)
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar