Sewaktu aku pulang ke Sriwijaya, Ibu sempat menanyakan keadaan Bapak. Namun tetap saja tidak mau melayat Bapak.
Ibu hanya mengirimkan karangan bunga berwarna merah-putih untuk Bapak.
Di malam itu, di Sriwijaya sedang dibicarakan penentuan tempat pemakaman Bapak.
Hal ini disebabkan adanya amanat dari Bapak, bahwa beliau ingin dimakamkan di bawah pohon yang rindang, dan di dekat pemakaman itu melintas sungai.
Bapak juga minta agar tidak dipasang batu nisan di atas pemakamannya.
Sebagai gantinya Bapak menghendaki sebuah batu ditaruh di atas pemakamannya, dengan tulisan Bung Karno penyambung lidah rakyat.
Namun akhirnya disepakati Bapak dimakamkan di Blitar.
Senin, sekitar pukul 10.00 jenazah Bapak berangkat dari lapangan terbang Halim Perdana Kusuma.
Dengan menumpang pesawat Hercules kami mengantar Bapak ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Di sepanjang jalan aku melihat lautan manusia melepas kepergian Bapak.
Bahkan di lapangan terbang sewaktu pesawat mulai tinggal landas, ada yang histeris dan mengejar sambil tangannya menggapai-gapai badan pesawat.
Aku juga melihat di sepanjang jalan banyak orang mencucurkan air matanya.
Pesawat yang membawa jenazah Bapak kemudian mendarat di Malang. Perjalanan ke Blitar dilanjutkan dengan konvoi mobil.
Baru seminggu kemudian Ibu mau menengok makam Bapak.
Kalau Aku mengingat-ingat kembali saat-saat kepergian Bapak, sepertinya kejadian itu baru kemarin berlangsung.
Aku merasa benar-benar kehilangan Bapak dan seorang pemimpin.
Melihat pelayat yang seperti lautan manusia itu, aku teringat pesan Bapak.
"Semakin banyak orang mencintai kita, itu pertanda bahwa semakin banyak pula musuh kita." (Koes Sabandiyah) (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul "Seperti Tahu Hidup Suaminya Tak Akan Lama Lagi, Justru Fatmawati Tak Pernah Jenguk Bung Karno dari Sakit Hingga Ajal Menjemput, Ini Alasannya"
Source | : | Intisari Online |
Penulis | : | None |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar