Tidur di masjid
Dokter ahli petir ini mengatakan, pengembangan Vent-I menghabiskan waktu 6 minggu. Selama itu, ia memilih meninggalkan rumah dan tidur di ruang kerjanya di Masjid Salman.
Ia memanfaatkan ruang kerjanya yang kecil untuk mengembangkan idenya dan menggunakan sofa hitam untuk tempat tidurnya.
Setiap malam, ia hanya tidur sekitar 4 jam. Waktunya lebih banyak digunakan untuk pengembangan Vent-I.
Dalam perkembangannya, beberapa ruangan di Salman ITB diubah menjadi bengkel Vent-I. Mulai dari ruang serba guna, kelas, hingga kantin.
Sejumlah kampus pun ikut membantu, seperti ITB, Unpad, Polman, Polban, sejumlah SMK, PT Dirgantara Indonesia (DI), dan lainnya.
Kumpulkan dana dari masyarakat
Saat ini, tim sedang membuat 850 Vent-I yang akan dibagikan gratis ke rumah sakit di Indonesia.
Dari jumlah itu, sebagian Vent-I sudah disebar, terbanyak di Pulau Jawa.
"Dana pembuatan Vent-I berasal dari dana masyarakat. Bisa dibilang masyarakat yang membeli 850 Vent-I ini atau lebih dari Rp 10 miliar," tutur Syarif.
Syarif menjelaskan, saat Vent-I ini dikembangkan, banyak teman yang tertarik ingin menyumbang untuk membantu pasien.
Kemudian Salman membuat crowd funding untuk pembuatan Vent-I hingga terkumpul dana Rp 10 miliar lebih.
GridPop.ID (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Dosen ITB Bikin Ventilator Indonesia, Rela Dicibir, Tidur di Masjid, hingga Dapat Dana Rp 10 M"
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | None |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar