Hal tersebut menguatkan bahwa Negara Republik Indonesia memiliki komitmen untuk memenuhi hak atas pendidikan yang merupakan hak dasar, hak pokok yang wajib dipenuhi Negara dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status social ekonomi, kaya atau miskin.
Pendirian sekolah negeri adalah wujud Negara melakukan pemenuhan hak dasar tersebut, sehingga dengan demikian semua anak Indonesia berhak menikmati pendidikan di sekolah-sekolah negeri, tanpa memandang status ekonomi.
Dengan demikian, pernyatan bahwa sekolah negeri seharusnya diperuntukkan bagi siswa dengan tingkat ekonomi rendah adalah pernyataan yang tidak tepat, terlebih dikemukakan oleh seorang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kedua, Mengapa Menteri Nadiem Menurunkan jalur zonasi dalam PPDB tahun 2020 dari 80% menjadi 50%?
Dalam pemberitaan terkait diskusi daring tersebut, Mas Menteri menghubungkan kebijakan PPDB sistem zonasi dengan pernyataannya tentang sekolah negeri lebih tepat untuk anak-anak dari keluarga ekonomi rendah atau anak miskin.
Saya malah jadi menangkap kesan dari pernyataan tersebut, bahwa seolah-olah sekolah negeri memang tidak sejajar dengan sekolah-sekolah swasta papan atas yang berbayar sangat mahal, seperti sekolah CIKAL, Al Izhar, Al Azhar, Penabur, dan lain-lain.
Sebenarnya, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi adalah kebijakan yang dilahirkan oleh Menteri Muhajir Effendy pada tahun 2017 saat beliau baru menjabat sebagai Mendikbud RI.
Dasar kebijakan PPDB sistem zonasi adalah mencegah pendidikan menjadi pasar bebas sehingga Negara harus hadir, dengan demikian seluruh anak Indonesia, baik kaya maupun miskin, pintar maupun tidak, berkebutuhan khusus/tidak berhak belajar di sekolah negeri, asalkan rumahnya secara jarak dekat dengan sekolah yang dituju.
Pada pelaksaan PPDB sistem zonasi tahun 2019, Mendikbud Muhajir bahkan sudah menetapkan jalur zonasi mencapai 80%, namun di era Mendikbud Nadiem diturunkan drastis menjadi 50%.
Jika Mas Menteri konsisten dengan pernyataan yang disampaikan dalam diskusi daring yang diselenggarakan KPK pada 29/7 lalu, maka menurunkan jalur zonasi hingga sebesar 30% justru mengarah pada ketidak konsistenan dalam berpikir soal keadilan social yang juga Mas Menteri singgung.
Mas Menteri juga menyatakan bahwa “Kalau kita hitung-hitung dari semua total jumlah kebutuhan sekolah di Indonesia dan kita proyeksikan ke depan, tidak mungkin [bisa terpenuhi] tanpa partisipasi pihak swasta,".
Padahal, jumlah sekolah negeri yang yang sedikit, tidak menyebar merata dan semakin naik jenjang pendidikan jumlahnya semakin sedikit bukan barang baru, ini kondisi puluhan tahun yang lalu, masalah lama yang belum diselesaikan.
Kalau Mas Menteri mau meningkatkan APK dan lamanya anak sekolah di Indonesia, maka program menambah jumlah sekolah negeri untuk jenjang SMP dan SMA/SMK mutlak dilakukan, terutama untuk daerah-daerah yang padat penduduk tetapi sekolah negerinya sangat sedikit dan tidak menyebar merata. Ini harus didasarkan pemetaan pemerintah daerah dan memerlukan kerjasama dengan pemerintah daerah.
Sebagai menteri pendidikan, semoga Mas Menteri sudah menyadari bahwa lama belajar di Indonesia baru ditingkatkan 9,1 tahun dalam RPJMN 2020/2024, sebelum tahun 2020 lama belajar anak Indonesia rata-rata hanya 7,9 sampai 8,5 tahun.
Lulus SMP normalnya adalah 9 tahun, itu artinya mayoritas SDM kita lulusan Sekolah Dasar (SD). Anak-anak yang putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMP dan SMA/SMK dikarenakan kemiskinan dan tidak ada sekolah negeri terdekat.
Oleh karena itu, daripada menyebar uang APBN dalam program organisasi penggerak (POP) pada organisasi dan yayasan-yayasan yang mayoritas belum jelas rekam jejaknya dalam meningkatkan kapasitas guru dan kepala sekolah, mengapa Mas Menteri tidak mengalihkan anggaran untuk penambahan jumlah sekolah negeri jenjang SMA/SMK yang jumlahnya hanya 6.683 se-Indonesia, angka itu jauh dari mencukupi.
Selama jumlahnya tidak ditambah, maka kericuhan PPDB tidak akan mereda tahun-tahun kedepan.
Ketiga, Mengapa Menteri Nadiem yang milineal Tak Berdaya Mengatasi Persoalan PJJ bagi puluhan juta anak Indonesia ?
Pada era pandemic Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring maupun luring sarat kendala, mengapa Mas Menteri yang dijuluki menteri milineal justru terkesan tak berdaya? Tidak terlihat langkah-langkah konkrit Kemdikbud mengatasi berbagai kendala PJJ, padahal hasil survey berbagai pihak terhadap PJJ fase pertama seharusnya dapat dijadikan dasar menyelesaikan masalah. Namun, tidak ada terobosan apapun selama berbulan-bulan, sehingga permasalahan pelaksanaan PJJ fase kedua masih sama.
Padahal, jutaan anak Indonesia saat ini terkurung di rumah, dan para orangtua cemas terhadap efek jangka panjang pada anak-anak akibat terisolasi di rumah, kehilangan hak bermain, kesempatan bersosialisasi dan terlalu lama beristirahat dari kegiatan akademik dan ekstrakurikuler di sekolah.
Data survey Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) fase 1 yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April 2020 dan diikuti 1700 siswa, menunjukkan 76,7% responden siswa tidak senang belajar dari rumah.
PJJ adalah “hal baru” bagi anak, orangtua, ataupun sekolah. Ibaratnya, tidak ada satu pihak pun yang memiliki bekal cukup untuk menjalaninya, baik secara pedagogis maupun psikologis.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Survei KPAI terkait PJJ fase pertama berjalan tidak efektif dan 77,8% responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar dari rumah dengan rincian : 37,1% siswa mengeluhkan waktu pengerjaan yang sempit sehingga memicu kelelahan dan stress; 42% siswa kesulitan daring karena orangtua mereka tidak mampu membelikan kuota internet, dan 15,6% siswa mengalami kesulitan daring karena tidak memiliki peralatan daring, baik handphone, komputer PC, apalagi laptop.
Orang tua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya melakukan PJJ secara daring, karena harus mengingatkan berbagai tugas belajar, mana yang sudah dikerjakan dan mana yang belum.
Source | : | Wartakotalive.com |
Penulis | : | None |
Editor | : | Andriana Oky |
Komentar