“Untuk jenisnya itu koyngon dan sekarang umur ayam di kandang sudah mencapai satu tahun delapan bulan,” ujarnya.
Ayam tersebut, kata Firman, memiliki karakter berbeda dengan ayam–ayam lainnya saat berlaga.
“Teknik saat abar (laga) ayam ini rajin menggulung, pukul kanan kiri juga main. Nah, untuk masalah perawatan tentu sebanding dengan kualitas ayam seperti memberikan vitamin dan jamu itu sebagai menu sehat ayam laga,” katanya.
Alasan Firman tak melepas ayam itu meski ditawar Rp 130 juta karena ia fokus pada budidaya dan belum terpikirkan untuk mengambil keuntungan penjualan.
“Kami enggak kasih ayam ini. Emang dari awal lagi fokus pengembangabiakan dan ayam ini sering dikawinkan untuk mendapat bibit berkualitas juga,” ujarnya.
Tidak hanya ayam dari Thailand, Firman mengaku budidaya ayam di tempatnya memang mayoritas unggas impor. Bahkan, ada ayam yang diimpor dari Jerman.
“Untuk jenis ayam ini samo dan kami beli indukan dari Jerman melalui importir di Bandung dengan harga 16 juta. Pada waktu itu, ayam itu umur 3 bulan dan sekarang masuk usia dewasa dan telah menghasil keuntungan cukup besar juga,” katanya.
Ia menjual anak ayam berusia tiga bulan dari indukan Jerman ini seharga Rp 6 juta per ekor.
Mengenai pasar, ucap Firman, pembeli berasal dari berbagai kota dan daerah di Indonesia bahkan ada juga dari luar negeri.
“Mereka (pembeli) itu dari Sulawesi, Kalimantan, dan mayoritas daerah di Pulau Jawa juga. Namun untuk ke luar negeri itu, pernah ada pembeli dari Malaysia,” katanya. GridPop.ID (*)
Source | : | Kompas.com,tribunnews |
Penulis | : | Luvy Octaviani |
Editor | : | Luvy Octaviani |
Komentar