GridPop.ID - Saat malam hari tiba, kita langsung menyebut bahwa warna alam semesta adalah hitam.
Siapa sangka, selama ini ternyata anggapan tersebut salah lho.
Rahasia alam semesta tentang warna yang sebenarnya memang tak habis membuat rasa penasaran banyak orang.
Dilansir Kompas.com dari Live Science, Jumat (3/9/2021), rata-rata warna alam semesta yang sebenarnya adalah warna krem dan tidak terlalu jauh dari warna putih.
Warna baru itu dinamai cosmic latte yang terinspirasi dari kata Italia untuk susu.
Saran nama lainnya yang muncul adalah cappuccino cosmico, Big Bang beige dan sup krim kerang purba.
Fenomena tersebut terjadi karena konsep kunci dari spektrum kosmik adalah bahwa ia mewakili cahaya alam semesta.
Artinya, warna cosmic latte mewakili cahaya yang dipancarkan ke seluruh alam semesta dan tidak hanya seperti yang tampak bagi manusia di Bumi saat ini.
Hal ini disampaikan oleh Ivan Baldry, profesor di Institut Penelitian Astrofisika Universitas Liverpool John Moores di Inggris dan Karl Glazebrook, profesor terkemuka di Pusat Astrofisika dan Superkomputer di Universitas Teknologi Swinburne, Australia.
Menurut dua ilmuwan ini, bukan warna hitam, melainkan warna cosmic latte adalah warna dari alam semesta yang kita tinggali ini.
Penelitian itu dilakukan dengan mengukur cahaya yang datang dari puluhan ribu galaksi dan digabungkan itu menjadi spektrum tunggal yang mewakili seluruh alam semesta dan telah diterbitkan dalam The Astrophysical Journal tahun 2002.
Layaknya semua gelombang, cahaya terbentang dalam jarak yang sangat jauh karena efek doppler, yaitu frekuensi gelombang dari suatu sumber yang mengalami perubahan akibat pergerakan relatif detektor terhadap sumber gelombang atau sebaliknya.
Saat cahaya merenggang, panjang gelombang meningkat dan warnanya bergerak menuju ujung merah spektrum, yang dikenal oleh para astronom sebagai pergeseran merah.
Dalam artian, cahaya yang nampak, tidak berwarna sama seperti saat pertama kali dipancarkan. Lantas, mengapa warna alam semesta tampak seperti berwarna hitam?
Kendati banyak orang beranggapan warna alam semesta itu hitam, namun Baldry mengatakan bahwa hitam bukanlah warna.
"Hitam hanyalah ketiadaan cahaya yang dapat dideteksi," kata Baldry.
Sebaliknya, warna adalah hasil dari cahaya yang tampak dan diciptakan di seluruh alam semesta oleh bintang dan galaksi.
Bintang dan galaksi memancarkan gelombang radiasi elektromagnetik dan dipisahkan ke dalam kelompok yang berbeda berdasarkan panjang gelombang yang dipancarkan.
Kelompok sinar tersebut termasuk sinar-X, sinar ultraviolet, cahaya tampak, radiasi inframerah, gelombang mikro dan gelombang radio.
Sementara itu, cahaya tampak membentuk sebagian kecil dari spektrum elektromagnetik dalam panjang gelombang tertentu dan menjadi satu-satunya bagian yang dapat dilihat dengan mata telanjang.
Apa yang dianggap sebagai warna sebenarnya adalah panjang gelombang berbeda dari cahaya yang mampu terlihat.
Contohnya adalah merah dan jingga memiliki panjang gelombang yang lebih panjang, dan biru dan ungu memiliki panjang gelombang yang lebih pendek.
Baldry mengatakan, spektrum bintang atau galaksi yang terlihat adalah ukuran kecerahan serta panjang gelombang cahaya yang dipancarkan bintang atau galaksi.
Pada akhirnya, hal ini dapat digunakan untuk menentukan warna rata-rata bintang dan galaksi.
"(Spektrum kosmik) mewakili jumlah semua energi di alam semesta yang dipancarkan pada panjang gelombang cahaya optik yang berbeda," tulis Baldry dan Glazebrook dalam makalah online non-peer-review terpisah pada tahun 2002.
Spektrum kosmik nantinya memungkinkan mereka untuk menentukan warna rata-rata alam semesta.
Lalu, bagaimana dengan warna langit yang berwana biru?
Dilansir dari Bangkapos.com, Langit biru selalu dianggap mengisyaratkan bahwa cuaca sedang cerah dan sinar matahari sangat terik.
Padahal, sebenarnya hal tersebut merupakan campuran dari semua warna pelangi.
Sinar matahari melewati atmosfer dalam molekul udara naik dan turun, itu diakibatkan adanya gelombang elektromagnetik yang menyebabkan partikel bermuatan elektron dan proton.
Ketika ini terjadi, muatan osilasi akan menghasilkan radiasi elektromagnetik pada frekuensi yang sama dengan sinar matahari yang masuk, tetapi menyebar ke semua arah yang berbeda.
Pengalihan sinar matahari yang masuk oleh molekul udara ini disebut hamburan.
Dari spektrum cahaya, komponen warna biru memiliki panjang gelombang yang lebih pendek dan frekuensi yang lebih tinggi daripada komponen merah.
Sehingga, saat sinar matahari dari semua spektrum warna melewati udara, komponen biru akan menyebabkan partikel bermuatan berosilasi lebih cepat daripada warna merah.
Percepatan partikel bermuatan sebanding dengan kuadrat frekuensi, dan intensitas cahaya yang tersebar sebanding dengan kuadrat percepatan ini.
Oleh karena itu, intensitas cahaya yang tersebar sebanding dengan kekuatan frekuensinya.
Hasilnya adalah cahaya biru tersebar ke arah lain hampir 10 kali lebih efisien daripada cahaya merah.
Baca Juga: Mati Suri Selama 7 Menit, Pria Ini Nekat Gambar Penampakan Alam Baka yang Bikin Merinding
GridPop.ID (*)
Source | : | Kompas.com,Bangkapos.com |
Penulis | : | Lina Sofia |
Editor | : | Andriana Oky |
Komentar