Namun, pemungutan suara referendum yang sedianya digelar pada 15 Juni 2019 harus ditunda.
Otoritas berwenang kini mengusulkan referendum dilaksanakan pada 17 Oktober 2019.
Penyebabnya, kegagalan pemerintah untuk menyediakan sebagian besar dana yang dijanjikan untuk upaya tersebut.
Selain itu, ada kekhawatiran soal keakuratan data pemilih dalam referendum.
"Ini tentu mengecewakan saya dan semua orang, tapi ini adalah kenyataan dari situasinya," kata Ketua Komisi Referendum Bertie Ahern, yang juga mantan perdana menteri Irlandia.
Rekomendasi soal jadwal pemungutan referendum telah diterima oleh pemerintah regional dan pusat.
"Pemungutan suara akan digelar pada Oktober," ujar Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neill, seperti dikutip dari AFP.
Pemungutan suara akan dipandang sebagai pilar kunci dari proses damai pada 2001 untuk mengakhiri perang sipil yang menewaskan 20.000 orang.
Perang antara separatis dan pemerintah Papua Nugini bagian tengah hanya berakhir dengan sebuah janji untuk otonomi yang lebih luas dan sebuah pemungutan suara menuju negara merdeka.
Pemerintah pusat dan otoritas Bougainville sama-sama menginginkan agar pemungutan suara tetap dilanjutkan.
"Pemerintah kami berkomitmen untuk memastikan, kami akan menggelar referendum tahun ini," kata O'Neill.
Sebelumnya, Pemerintah Australia mengumumkan pemberian bantuan dana senilai 35,6 juta dollar atau sekitar Rp 356,4 miliar kepada Bougainville.
Setengah dari uang tersebut telah tersedia melalui Proyek Dukungan Referendum Bougainville di PBB.
GridPop.ID (*)
Source | : | Kompas.com,Tribun Medan |
Penulis | : | Lina Sofia |
Editor | : | Veronica S |
Komentar