"Jika tidak ditangani dengan baik, angka kematian global akibat penyakit ini diperkirakan dapat meningkat hingga lebih dari 23.3 juta kematian setiap tahun pada tahun 2030," tegasnya.
Di samping itu risiko penyakit gagal jantung meningkat pada kondisi orang dengan hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes, dan riwayat keluarga dengan kardiomiopati.
Tak hanya itu saja, paparan toksin, penyakit jantung katup, gangguan fungsi tiroid, rokok, sindrom metabolik membuat orang berisiko lebih tinggi mengalami gagal jantung.
Lebih lanjut lagi, berdasarkan data registri gagal jantung Pokja menunjukkan kontribusi terbanyak sebagai penyebab gagal jantung di Indonesia adalah penyakit jantung koroner, hipertensi, dan diabetes.
Sementara itu, faktor risiko tambahan seperti obesitas, dislipidemia, gangguan fungsi ginjal, gaya hidup santai, dan obstructive sleep apnea, juga mampu memicu penyakit gagal jantung.
Di Indonesia sendiri berdasarkan pedoman tatalaksana gagal jantung yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia (PERKI) tahun 2020, terdapat tiga pilar utama pengobatan gagal jantung, yaitu
1. RAS (renin angiotensin aldosteron) blocker
2. Betablocker
3. MRA (mineraloreceptor antagonist) sebagai lini pertama pengobatan penyakit gagal jantung kronik selama tidak ditemukan adanya kontrindikasi.
Di sisi lain, di akhir tahun 2021, Pokja mengeluarkan tulisan ilmiah mengenai SGLT2-I yang direkomendasikan sebagai tambahan terapi pada pasien gagal jantung, dengan fraksi ejeksiventrikel kiri (FEVKi) ≤ 40 persen.
Terapi ini untuk menurunkan angka kematian dan risiko rawat inap berulang akibat perburukan gagal jantung.
Source | : | Parapuan.co |
Penulis | : | Arif B |
Editor | : | Veronica S |
Komentar