GridPop.ID - Pandemi Covid-19 belum selesai, dunia kini kembali digemparkan dengan temuan virus baru bernama monkeypox atau cacar monyet.
Bahkan cacar monyet ini disebut-sebut sudah bermutasi dan berpotensi menular.
Lantas, apakah cacar monyet membahayakan?
Dilansir dari Tribun Kesehatan sebelumnya, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengaku prihatin dengan wabah cacar monyet yang sudah terdeteksi di 48 negara.
Meski memiliki tingkat bahaya sedang, WHO melaporkan kini ada lebih dari 3.200 kasus cacar monyet yang dilaporkan di negara yang biasanya tidak menyebar.
Meski begitu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan bahwa kasus cacar monyet di Indonesia belum terdeteksi hingga 25 Juni 2022.
"Saya sangat prihatin dengan wabah cacar monyet, ini jelas merupakan ancaman kesehatan yang berkembang yang diikuti oleh rekan-rekan saya dan saya di Sekretariat WHO," kata Tedros, dikutip dari Channel News Asia.
Kendati demikian, Tedros menyebut cacar monyet belum menjadi penyakit darurat kesehatan global.
Sebab label darurat global saat ini hanya berlaku untuk pandemi Covid-19 dan upaya berkelanjutan untuk memberantas polio.
"Ada lebih dari 3.200 kasus cacar monyet yang dikonfirmasi dan satu kematian dilaporkan dalam enam minggu terakhir dari 48 negara di mana biasanya tidak menyebar," ujar Tedros.
Oleh karena itu, Lewis mengimbau agar seluruh negara ikut memantau dan memahami risiko dari penyakit ini.
Terlebih, kepada kaum gay atau LGBT di seluruh dunia karena kasus ini paling banyak ditemukan dari pria yang berhubungan seks dengan pria.
"Jadi sangat penting bagi WHO dan semua negara dan semua pihak dan semua pemangku kepentingan di tingkat komunitas untuk memahami di mana risikonya, siapa yang mungkin berisiko sehingga orang dapat melindungi diri mereka sendiri."
"Ini adalah pesan yang ingin kami bagikan bahwa orang-orang dapat melindungi diri mereka sendiri. Jika Anda mengetahui risiko Anda sendiri, Anda dapat menurunkan risiko Anda sendiri," jelas Lewis.
Dibandingkan cacar lainnya, gejala cacar monyet disebut lebih ringan, dikutip oleh Kompas.com dari Washington Post.
Setelah masa inkubasi selama satu sampai dua minggu, penyakit ini biasanya menunjukkan gejala demam, nyeri otot, kelelahan dan gejala mirip flu lainnya.
Tidak seperti cacar lainnya, cacar monyet juga menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening.
Dalam beberapa hari setelah demam, pasien mengalami ruam, seringkali dimulai pada wajah kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya.
Kondisi tersebut kemudian tumbuh menjadi pustula berisi cairan yang membentuk keropeng. Apabila terbentuk pada mata, maka dapat menyebabkan kebutaan.
Menurut WHO, cacar monyet biasanya berlangsung selama dua hingga empat minggu.
Kematian lebih tinggi di antara anak-anak dan dewasa muda, sementara orang-orang yang sistem kekebalannya terganggu sangat berisiko terkena penyakit parah.
Berbeda dari Covid-19, cacar monyet tidak mudah menyebar di antara manusia.
Kontak dengan virus dari hewan, manusia atau benda yang terkontaminasi adalah jalur utama.
Virus masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang rusak, saluran pernapasan atau selaput lendir di mata, hidung atau mulut.
GridPop.ID (*)
Source | : | Kompas.com,Tribun Kesehatan |
Penulis | : | Lina Sofia |
Editor | : | Lina Sofia |
Komentar