"Kalau dari tahun ke tahun ada artis yang masuk ke pemilu yaitu karena merefleksikan bahwa memang kaderisasi partai politik kita itu masih buruk sampai sekarang," jelasnya.
Menurutnya, partai politik yang mencalonkan pemimpin/kepala daerah hingga kepala negara yang bukan berasal dari kadernya sendiri mengindikasikan adanya krisis kaderisasi dalam partai politik itu.
Artinya partai politik tersebut tidak mempunyai kader sendiri sehingga ia mencari orang yang sudah populer, terutama dari kalangan artis.
Sayangnya, fenomena artis jadi politikus ini terkesan hanya ditujukan untuk mendongkrak popularitas partai.
Sebab, popularitas tersebut tidak diimbangi dengan kapabilitas mereka di dunia politik.
"Masalahnya adalah ada banyak kasus di mana artis yang menjadi anggota dewan, eksekutif, atau pemimpin yang ternyata tidak berperan banyak," tegas Wijayanto.
"Artis-artis ini kemudian hanya menjadi ornamen politik," imbuhnya.
Padahal, Wijayanto mengingatkan bahwa popularitas berbeda dengan elektabilitas.
Mereka yang memiliki popularitas tidak serta merta akan dipilih oleh rakyat. Krisis kaderisasi ini juga merefleksikan permasalahan partai politik secara umum.
Wijayanto mengatakan, krisis kaderisasi membuat partai politik lamban dalam melakukan reformasi sejak tahun 1998.
Sebagai contoh, terdapat partia yang jabatan ketua umumnya diwariskan ke keturunannya, penentuan calon pemimpin daerah dari partai pusat, hingga sentralisasi politik yang menyebabkan terjadinya politik dinasti dan oligarki politik.
"Partai politik itu satu lembaga politik yang paling penting buat demokrasi, menurut saya, justru paling lambat dalam melakukan reformasi," paparnya.
GridPop.ID (*)
Source | : | Kompas.com,Tribun Seleb |
Penulis | : | Veronica S |
Editor | : | Veronica S |
Komentar