“Jadi pada zaman nabi itu, sebelum masuk waktu fajar, Bilal bin Rabah mengumandangkan azan. Setelah itu, ia berdzikir sampai fajar tiba. Saat fajar tiba, ia turun dari menara dan memberitahukan Abdullah bin Ummi Maktum untuk azan,” kata Ustadz Arsyad kepada KompasTV, Sabtu (24/4/2021).
Ia menjelaskan, Abdullah bin Ummi Maktum adalah seorang tunanetra (buta) sehingga ia tidak tahu kapan waktu fajar tiba. Maka Bilal bin Rabah memerintahkan Abdullah bin Ummi Maktum untuk azan sebagai pertanda waktu Subuh.
“Nah, jadi penduduk Madinah itu sudah tahu, kalau azannya Bilal itu bukan azan salat Subuh tetapi azan untuk salat malam atau bangun sahur. Adapun azannya Abdullah bin Ummi Maktum itu pertanda datangnya waktu subuh. Maka kata nabi, makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan,” jelas Ustaz Arsyad.
Penjelasannya Ustaz Arsyad tersebut, berkenaan dengan hadis nabi, dari Salim bin Abdullah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Bilal mengumandangkan azan di malam hari, makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan." Salim bin Abdullah berkata, "Abdullah bin Ummi Maktum adalah seorang laki-laki buta, ia tidak mengumandangkan azan hingga dikatakan padanya, 'Subuh telah tiba, Subuh telah tiba'." (Hadits Shahih Riwayat Malik)
Selain itu, Ustaz Arsyad menambahkan, membangunkan sahur menggunakan cara di zaman nabi tidak bisa diterapkan di zaman sekarang, terutama Indonesia.
“Pada zaman nabi menggunakan azan untuk membangunkan sahur dan itu efektif karena penduduk pada zaman nabi, di Madinah itu imannya pada tinggi, mendengar azan langsung tergugah hatinya. Dan di masyarakat kita, yang banyak orang awam, membangunkan sahur dengan azan sepertinya kurang efektif,” imbuhnya.
Dalam menerapkan sunah, ada yang disebut ghoyah (tujuan) dan wasilah (sarana). Artinya, dalam membangunkan sahur bisa menggunakan cara (wasilah) apapun yang penting tujuan (ghoyah) untuk membangunkan sahur tercapai. Misalnya, menggunakan bedug seperti pada zaman Sunan Kudus.
“Jadi, menggunakan bedug boleh-boleh saja. Cuma ada batasnya. Ketika itu memang mengganggu maka ada kaidah lain, kaidah usul fiqh, bahwa kemudaratan itu harus dihilangkan."
"Kalau sampai menemukan mudarat (masalah), misalnya ibu yang bayinya terbangun gara-gara itu, kan ibunya jadi repot ya. Mau sahur itu jadi repot karena anaknya nangis. Nah, itu maka tidak boleh terjadi seperti itu.”
Menurut Ustaz Arsyad, ketika terjadi konflik atau mudarat pada cara membangunkan sahur maka dikembalikan kepada adat masing-masing dengan duduk bersama mencari solusi.
“Kalau kesel pun, ingat tujuan mereka baik biar kita sahur. Sahur pahalanya luar biasa. Wallahu a’lamu bis-shawab,” tutup Ustaz Arsyad.
Baca Juga: 7 Tips Menu Diet Saat Sahur Agar Kuat Jalani Puasa Ramadhan 2023, Dijamin Tak Gampang Merasa Lapar
GridPop.ID (*)
Source | : | Tribunnews.com,Kompas TV |
Penulis | : | Lina Sofia |
Editor | : | Lina Sofia |
Komentar