GridPop.ID - Murid dikurung dalam jeruji besi mirip penjara oleh guru baru-baru ini menjadi viral.
Menyusul kejadian tersebut, chat grup orang tua pun tersebar hingga terkuak fakta ini.
Dikutip oleh tribuntrends.com dari mStar, Kamis (29/6/2023), komunikasi di media sosial sejak Selasa malam tentang seorang siswa kelas satu yang diduga dikurung di dalam ruangan berpagar besi yang mirip penjara.
Aksi salah seorang guru di salah satu sekolah dasar di Rembau, Negeri Sembilan itu menuai ketidakpuasan orang tua murid yang terlibat.
Bahkan, sempat menghebohkan publik menyusul beredarnya screenshot percakapan di grup WhatsApp kelas terpercaya antara guru dengan orang tua dan wali murid di kelas tersebut.
Termasuk beberapa foto ruangan berjeruji besi yang diduga digunakan sebagai tempat isolasi siswa miskin tersebut.
Menyusul kejadian yang viral itu, Dinas Pendidikan Kabupaten (PPD) turun tangan memberikan penjelasan usai menggelar diskusi dengan orang tua siswa pada Selasa malam.
Wakil Dinas Pendidikan Kabupaten Rembau Zamani Disimsalam mengatakan, 'hukuman' isolasi diambil pihak sekolah setelah siswa yang bersangkutan mengulangi pelanggaran mengganggu teman-temannya meski sudah diberi peringatan.
“Kami mendapat informasi bahwa siswa ini memang nakal.
Dia suka merobohkan celana siswa lain.
Bahkan orang tuanya pun mengakui anaknya memang nakal.
"Guru kelas telah memperingatkan siswa berkali-kali untuk tidak melakukan itu.
“Bahkan pihak sekolah juga memberikan teguran pada saat apel pagi tanggal 26 Juni (Senin) untuk menginformasikan kepada seluruh siswa terkait pelanggaran tersebut,” ujarnya.
Seperti yang dikatakan Zamani, siswa tersebut masih melakukan pelanggaran sehingga guru kelas harus mengadu ke guru pendamping senior bidang kesiswaan (HEM).
“Setahu saya, siswa itu diberi teguran dua kali. Dia dimasukkan ke dalam ruangan berpagar besi setelah melakukan kesalahan yang sama berulang kali,” ujarnya.
Mengenai ruang pagar besi, ia menjelaskan sebenarnya ruang pameran kampanye anti narkoba juga merupakan simulasi untuk meningkatkan kesadaran siswa agar tidak terjebak di kancah narkoba.
Disinggung tentang kotak listrik di ruangan yang bisa mengundang bahaya, Zamani mengatakan bahwa siswa tersebut berada di bawah pengawasan guru asisten senior HEM.
“Siswa itu tidak ditinggal sendirian, dan dia hanya berada di ruangan itu yang bahkan tidak dikunci, dan dia hanya berada di sana selama 10 menit untuk menyadarkannya.
“Selama di ruangan itu, ada guru pendamping senior HEM yang mengawasinya,” ujarnya.
Menurut Zamani, setelah menggelar diskusi dan penjelasan bersama, orang tua siswa tersebut tidak berencana menindak guru yang diduga tersebut.
“Mereka tidak keberatan anak-anak dicambuk karena nakal, tetapi sekolah tidak bisa seenaknya mencambuk.
Jadi, cara lain digunakan untuk memberikan kesadaran dan meyakinkan.
“Masalah sudah selesai. Siswa baik-baik saja dan tetap masuk sekolah seperti biasa,” ujarnya tentang diskusi yang berlangsung sekitar 45 menit itu.
Pengamat: Tidak Boleh Ada Istilah Menghukum dalam Pendidikan
Ketua Institute of Good Governance and Regional Development (IGGRD) Eka Simanjuntak menilai, pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy yang mengatakan bahwa pendidikan harus keras adalah hal yang keliru.
Menurut Eka, dalam pendidikan tidak boleh ada istilah menghukum, apalagi dengan kekerasan.
Menurut dia, masih ada istilah yang lebih baik, misalnya konsekuensi. Konsep konsekuensi ini, kata Eka, sudah berhasil di Selandia Baru.
"Menghukum saja kata-kata itu tidak boleh dalam pendidikan. Nah, kalau mau (seperti) tren yang di Selandia Baru itu, hukum diubah namanya menjadi konsekuensi, kalau mau disebut istilahnya, positif disiplin, itu mengajarkan orang menjadi disiplin secara positif," ujar Eka dalam konferensi pers di FX Plaza, Jakarta Pusat, Rabu (24/8/2016) dikutip dari laman kompas.com.
Contohnya, kata Eka, jika ada seorang anak yang terlambat datang ke sekolah, konsekuensinya adalah pulangnya lebih lama.
Dia melanjutkan, contoh lainnya jika ada siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR), maka guru bisa menggandakan pekerjaannya.
"Itu kan mendidik, itu kan menghukum dia tetapi (dengan cara) mengajarkan menjadi orang yang bertanggung jawab. Daripada disetrap, disuruh angkat kaki, bersihin WC, itu hubungannya apa? Enggak ada hubungannya, enggak mendidik sama sekali," kata Eka.
Baca Juga: Viral di TikTok Emak-emak Aniaya Anak Sendiri karena Kesal Ketinggalan Kereta, Warganet Geram!
Eka mengatakan, siswa yang masih anak-anak belum memahami konsep benar atau salah atas apa yang diperbuatnya.
Dengan memberi hukuman bagi anak-anak, kata Eka, hal itu akan berdampak buruk pada perkembangan kejiwaannya.
Maka dari itu, dia melanjutkan, semestinya anak-anak bukan dihukum, melainkan dibimbing dengan diberi pemahaman mengenai konsekuensi.
"Jadi, sejak kecil diajarkan bertanggung jawab karena dia tahu kalau saya berbuat begini maka konsekuensinya akan begini, maka dia tidak lakukan. Kalau dia bilang hukum, maka kekerasan akan berulang, melakukan kepada orang lain. Itu yang Pak Menteri tidak paham," tutur dia.
Ia menambahkan, tantangan dari konsep positif disiplin yakni para guru harus kreatif dalam memberikan sanksi kepada murid-muridnya yang melakukan kesalahan.
Para guru, kata Eka, harus tahu "padanan" dari sanksi yang diberikan. "Itu yang harus dilatih pada guru," kata dia. GridPop.ID (*)
Source | : | Kompas.com,tribuntrends |
Penulis | : | Luvy Octaviani |
Editor | : | Luvy Octaviani |
Komentar