Sigit menjelaskan, dalam bahasa Sumba, kawin tangkap dikenal dengan sebutan Padeta Mawinne.
Disebutkan, kawin tangkap menjadi salah satu tradisi di Sumba, NTT.
Dilansir dari Jurnal Tradisi Kawin Tangkap di Sumba, NTT: Perspektif FIlsafat Moral Emmauel Kant karya Donatus Sermada (2022), kawin tangkap adalah salah satu tradisi pernikahan di Sumba, NTT khususnya di wilayah pedalaman seperti di Kodi dan Wawewa.
Tradisi tersebut diyakini merupakan warisan nenek moyang mereka secara turun-temurun.
Secara historis, tradisi kawin tangkap biasanya dilakukan oleh laki-laki dari keluarga kaya yang hendak meminang seorang perempuan yang disukainya.
Kawin tangkap dilakukan dengan cara calon pengantin wanita diculik untuk dijadikan istri.
Tradisi kawin tangkap awalnya dimaksudkan untuk membawa pernikahan tanpa melalui peminangan atau kesepakatan kedua belah pihak, terutama soal mahar atau belis menuju ke tahap peminangan sebagai perkawinan yang sah menurut adat Sumba.
Kawin tangkap menjadi proses adat perkawinan di Sumba yang dilaksanakan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yaitu keluarga dari pihak laki-laki dengan keluarga dari pihak perempuan.
Pelaksanaan kawin tangkap dilakukan sesuai dengan prosesi pernikahan adat yaitu melibatkan simbol-simbol adat, seperti kuda yang diikat atau emas di bawah bantal sebagai tanda bahwa prosesi adat tengah dilaksanakan.
Dalam prosesinya, mempelai pria dan wanita menggunakan pakaian adat dan pihak orang tua laki-laki memberikan satu ekor kuda dan sebuah parang khas Sumba sebagai tanda permintaan maaf dan memberitahukan bahwa anak perempuannya sudah berada di pihak laki-laki.
Sejarah tradisi kawin tangkap
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | Grid. |
Editor | : | Helna Estalansa |
Komentar