3. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator).
4. Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Pemberantrasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) No. M.HH11.HM.03.02.th.2011, No. PER-045/A/JA/12/2011, No. 1 Tahun 2011, No. KEPB-02/01-55/12/2011, No. 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
5. Peraturan Menteri No. 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
Urgensi peran justice collaborator
Justice collaborator bukanlah sebatas pelaku yang menginginkan keringanan hukuman dari hakim.
Lebih dari itu, ia memiliki peran penting untuk membuka suatu kejahatan.
Dilansir dari laporan penelitian Mahkamah Agung berjudul Perlindungan Hukum terhadap Whistleblower dan Justice Collaborator dalam Upaya Penanggulangan Organized Crime, berikut pertimbangan suatu kasus memerlukan peran seorang saksi pelaku.
- Sulit mengetahui siapa pelaku utama kejahatannya.
- Orang yang mengetahui kasus juga terlibat di dalamnya dan mendapatan keuntungan sehingga jarang bersedia melaporkan ke aparat.
- Kejahatan dilakukan beberapa pelaku kunci sehingga hanya dapat dibuktikan dengan kesaksian pelaku.
- Hampir tidak ada tempat kejadian perkara yang pasti dan minim bukti untuk mengidentifikasi pelaku.
- Pelaku menyembunyikan, menghancurkan, atau mengalihkan bukti fisik kejahatan kepada orang lain.
- Pelaku merupakan orang berkuasa yang dapat mempengaruhi jalannya proses keadilan, seperti mencampuri penyidikan atau mengintimidasi saksi. GridPop.ID (*)
Source | : | Kompas.com,tribunnewsbogor |
Penulis | : | Luvy Octaviani |
Editor | : | Luvy Octaviani |
Komentar