Keluarga meminta keadilan dan menyatakan bahwa bank sperma itu bertanggung jawab atas kematian Zheng.
Namun pengadilan memutuskan bahwa Zheng, yang belajar di Universitas untuk menjadi dokter pada tahun 2010 sepenuhnya bertanggung jawab atas nasibnya sendiri.
Karena sudah mampu mengambil keputusan untuk mendonorkan cairannya di program bank sperma tersebut.
Pengadilan mendengar bahwa dokter muda tersebut mendaftar untuk program tersebut pada bulan Januari 2011.
Hingga akhirnya dalam sepuluh hari, Zheng melakukan empat kali kunjungan untuk menyumbangkan spermanya untuk program bank sperma universitas.
Keluarganya menuntut kompensasi sebesar hampir setengah Rp 19 miliar.
Namun pengadilan memberikan keluarga tersebut kompensasi sekira Rp 500 juta, termasuk biaya pemakaman.
Keluarga Zheng pun tak terima, dan meminta banding, hingga akhirnya pengadilan setempat justru memotong lagi kompensasi untuk keluarga Zheng.
Sang ayah meminta pihak universitas mengadakan otopsi namun permintaan tersebut ditolak. Putranya dikremasi sehari setelah Zheng meninggal.
Baca Juga: 20 Rekomendasi Hadiah untuk Guru, Dijamin Hemat dan Bermanfaat
Source | : | Tribun Style |
Penulis | : | Veronica S |
Editor | : | Veronica S |
Komentar