“Dia diharapkan segera membalas pesannya,” kata Dr. Du, seraya menambahkan bahwa suatu hari Xiaoyu menelepon pacarnya lebih dari 100 kali.
Ketika pacarnya tak segera menjawab telepon tersebut, si gadis marah hingga menghancurkan semua yang ada di apartemen mereka.
Saat anak laki-laki itu pulang dan melihat kejadian itu, dia menelepon polisi, yang datang tepat ketika dia mengancam akan melompat dari balkon.
Alhasil Xiaoyu ditahan dan dibawa ke rumah sakit.
Dokter Du Na mengatakan bahwa orang yang terkena bentuk ringan dari “otak cinta” biasanya dapat pulih dan menjalani kehidupan normal hanya dengan belajar mengendalikan emosi mereka, namun dalam kasus yang parah seperti yang dialami Xiaoyu, bantuan medis diperlukan.
Meski Dr. Du tidak secara akurat mengidentifikasi penyebab kondisi pasiennya tersebut, tapi ia berkata bahwa otak cinta biasanya didiagnosis pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan yang sehat dengan orang tuanya saat tumbuh dewasa.
Kisah Xiaoyu menjadi viral di media sosial Tiongkok dan memicu perdebatan sengit mengenai kesehatan mental dan stigma di sekitarnya, serta penyebab sebenarnya dari perilaku mengendalikan dalam hubungan romantis.
Lantas bisakah kisah di atas digolongkan ke dalam toxic relationship?
Melansir Verywell Mind via Kompas.com, toxic relationship adalah hubungan yang membuat seseorang merasa tidak didukung, dipahami, atau merasa direndahkan, serta diserang.
Hubungan tersebut akan membahayakan kondisi fisik dan mental seseorang.
Tapi tak semua hubungan toksik melibatkan kekerasan fisik.
Source | : | Kompas.com,Tribun Trends |
Penulis | : | Ekawati Tyas |
Editor | : | Ekawati Tyas |
Komentar