GridPop.ID - Kepergiaan Kiai Haji Maimun Zubair menyisakan duka yang mendalam bagi warga Indonesia.
Duka dan kehilangan tersebut juga dialami istri Mbah Moen yang mengiringi kepergian suami sampai ke liang lahat.
Namun, istri Mbah Moen dilarang untuk memasuki Ma'la dan hanya bisa melihat dari jarak jauh.
Sebelumnya, Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Kiai Haji Maimun Zubair meninggal dunia di tengah pelaksanaan ibadah haji, Selasa (6/8/2019), dikutip dari Kompas.com.
Semasa hidupnya, Mbah Moen pernah mengungkapkan keinginannya untuk dimakamkan di kompleks pemakaman Ma'la.
Ma'la merupakan kompleks pemakaman tertua di kota Mekkah, Arab Saudi.
Hal itu diungkapkan Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Dalam Negeri Abdul Ghaffar Rozin.
Pria yang akrab disapa Gus Rozin ini mendapat informasinya sebelum Mbah Maimun melakukan rangkaian ibadah haji.
"Almarhum pernah menyampaikan kalau wafat di Mekkah ingin dimakamkan di Ma’la," ujar Gus Rozin kepada Kompas.com, Selasa (6/8/2019).
Permintaan Mbah Moen tersebut akhirnya diwujudkan di mana peristirahatan terakhirnya di Ma'la.
Pada saat dikebumikan, istri Mbah Moen pun setia menemani iring-iringan jenazah.
Namun, istri Mbah Moen, Nyai Heni Maryam, tak bisa masuk ke kompleks tersebut dan hanya bisa berdiri jauh dari kerumunan orang.
Dilansir dari Tribunnews.com, Nyai Heni bersenandung tahlil sembari tangannya terus menengadah.
Baca Juga: Foto Mesra Bareng Mantan Pacar Vicky Nitinegoro yang Berdarah Jerman, Gading Marten: Cepet Pulang!
Dari balik pagar bertembok tebal dan berjeruji besi kokoh itu terlihat matanya tak beranjak menatap kerumunan ratusan bahkan ribuan orang yang berada sekitar 500 meter dari tempatnya berdiri.
Jelas tampak di raut wajahnya, keinginan untuk berada di tengah kerumunan itu. Namun apa daya, aturan di tanah Saudi ini jelas.
Perempuan, tak diperkenankan masuk ke dalam area pemakaman Ma’la.
Nyai Heni Maryam, hanya mampu memandang ribuan pelayat yang menghantar kepergian Sang Suami KH Maimoen Zubair dari balik pagar pemakaman Ma'la, Makkah.
Sesekali, dengan ujung jilbabnya ia tampak mengusap matanya. Mungkin titik air mata tak kuasa ia tahan untuk keluar dari sepasang mata yang tersembunyi di balik kacamata hitamnya.
"Duduk saja dulu Bu Nyai," bujuk dokter perempuan yang terus mendampinginya.
Bu Nyai menggeleng lemah, sambil terus menatap areal pemakaman yang sebenarnya khusus diperuntukkan bagi penduduk Makkah tersebut.
Namun akhirnya perempuan itu pun menuruti bujukan sang dokter dan kerabat. Ia pun terduduk di kursi roda yang memang sengaja dibawa untuknya.
“Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu. Allahumma la tahrimna ajrahu, wa laa taftina ba'dahu waghfirlana wa lahu,” terdengar sayup-sayup doa dari Nyai Heni.
"Wong semalem masih ngobrol kok. Proses perginya almarhum cepat sekali," kata Bu Nyai bercerita saat-saat terakhir sang suami.
Kalimat istighfar tak henti keluar dari bibirnya yang bergetar, seakan ingin menguatkan hati atas kepergian Sang Suami yang tiba-tiba.
"Bu Nyai mendampingi almarhum sejak jam 03.00 pagi tadi, waktu Kyai dibawa ke RS," ujar dokter yang selalu berada di samping Bu Nyai.
"Jam 04.00 pagi, saat kami menunggu di luar ruang rawat almarhum, tiba-tiba hujan di Kota Makkah. Kami semua gak tahu kok ya menangis semua. Bu Nyai juga. Mbah Kyai kepundut pukul 04.17," imbuhnya.
Jadi tak heran bila Bu Nyai pun ingin melihat di mana terakhir kali belahan hatinya terakhir disemayamkan. Maka, di sinilah kami. Berada di bawah langit Makkah, di balik pagar pemakaman Ma'la.
Waktu terus bergulir makin siang. Beberapa kerabat mulai membujuk Bu Nyai untuk beranjak dari tempatnya.
"Sudah bisa pulang bu? Istirahat yuk di apartemen?" bujuk salah satu kerabat.
"Sebentar, saya belum lihat," tuturnya lirih.
Bu Nyai ternyata ingin melihat pusara Kyai. Pandangannya terhalang oleh kerumunan orang yang masih memadati areal pemakaman.
"Bapak-bapak tolong minggir-minggir... Bu Nyai ada di sini, Bu Nyai ingin melihat. Tolong minggir," teriak salah seorang santri yang juga berada di luar pagar Ma'la.
Kerumunan itu pun mulai bergeser. Tak lama, tampak sebidang tanah datar dengan dua batu sebagai penanda.
Di sana jasad Sang Kyai besar disemayamkan terakhir kali. Ya, kuburan di tanah Arab memang tak seperti di tanah air yang berupa gundukan disertai papan nisan saja.
Melihat itu airmata Bu Nyai makin deras. Tangannya kembali menengadah, lantunan doa makin keras ia ucapkan.
Hingga berulang kali memohon ampunan bagi sang kekasih hati. (*)