GridPop.ID - Kasus manusia menjadi korban yang diterkam buaya masih sering terjadi di masyarakat Indonesia.
Baru-baru ini, buaya berukuran besar telah ditembak hingga tewas karena diduga membunuh warga setempat.
Namun setelah dibedah perutnya, warga menemukan sesuatu yang lebih mengagetkan.
Dikutip dari Tribun Lampung, seekor buaya Sinyulong sekitar berukuran 6 meter ditembak warga hingga mati.
Kematian buaya Sinyulong di Desa Pulau Temiang, Kecamatan Tebo Ulu, Kabupaten Tebo, Jambi, masih menyisakan persoalan.
Pasalnya, warga mencurigai bahwa buaya Sinyulong 6 meter itu merupakan buaya yang memakan warga di Tebo Ulu pada 2018.
Warga resah dengan keberadaan buaya sepanjang 6 meter itu, mengingat adanya sejumlah konflik yang terjadi antara warga dan buaya cukup tinggi belakangan ini.
Bukan hanya sering menampakkan diri, buaya juga pernah menyerang warga yang beraktivitas di sungai sekitar desa.
Saat air sungai surut selama musim kemarau, buaya Sinyulong itu pun lebih intens terlihat oleh warga.
Teror-teror itulah yang menyebabkan warga menembak mati buaya tersebut.
Setelah hewan buas tersebut mati, para warga juga membedah bagian perutnya guna melihat isinya.
Selain itu, warga ingin memastikan bahwa buaya tersebut yang pernah memangsa salah seorang warga pada Februari 2018 lalu.
Namun tak disangka, isi perut yang ditemukan oleh warga bukan hal yang dicari-cari.
Pasalnya saat dibedah, dalam perut satwa yang berstatus dilindungi itu terdapat sampah plastik.
"Ada ditemukan plastik, karung dan jaring di dalam perutnya. Itu yang melakukan warga waktu buaya itu mati mereka bedah untuk melihat apakah ada tulang belulang manusia," ujar Hefa Edison Tim Penanggulangan Konflik Satwa Liar Balai KSDA Jambi, Selasa (13/8/2019).
Hefa menambahkan bahwa tak ditemukan tulang manusia di dalam perut buaya Sinyulong itu.
"Ada tulang belulang, tapi kemungkinan hewan karena tulangnya kecil," katanya.
Lebih lanjut. Hefa menyayangkan buaya Sinyulong tersebut ditembak mati.
Hal itu karena sangat jarang buaya Sinyulong ditemukan sepanjang enam meter.
Terlebih lagi, berdasarkan IUCN buaya Sinyulong termasuk dalam satwa yang dilindungi dengan status terancam punah.
Diketahui, buaya Sinyulong tersebut berjeni betina dengan usia puluhan tahun.
"Usianya itu kita perkirakan 30 sampai 50 tahun untuk ukuran seperti itu," terang Hefa.
Kasus temuan limbah plastik di dalam perut buaya bukanlah pertama kali terjadi di Jambi.
Hefa Edison mengatakan pada 2014, BKSDA Jambi pernah menemukan kasus kematian buaya akibat limbah plastik.
Limbah plastik tersebut ditemukan di dalam perut buaya yang mati.
"Kejadian tahun 2014 di Tungkal kami menemukan buaya mati, setelah diperiksa didalam perutnya kami menemukan sampah plastik, itu jenis buaya muara," ujarnya.
Aliran Sungai Batanghari dan anak sungainya menjadi habitat hidup pada buaya berdasarkan penelitian tahun 2011.
"Pernah dilakukan penelitian tapi saya tidak pegang datanya, penelitian itu menyebutkan kalau sungai Batanghari dan anak sungainya sampai ke hulu menjadi habitat buaya sinyulong," ujarnya.
"Yang mengherankan ditemukan buaya muara di hulu sungai Batanghari, seperti di Tebo," pungkasnya.
Namun sangat disayangkan, limbah plastik cukup banyak ditemui di sepanjang aliran sungai Batanghari.
Kondisi ini tak hanya mengancam habitat buaya, namun juga satwa lain.
Baca Juga: Ngeri, Warga Bertaruh Nyawa Lintasi Jembatan Gantung di Atas Sungai Sarang Buaya Raksasa
Untuk itu, kata Hefa Edison, perlu kesadaran masyarakat untuk menjaga Sungai Batanghari, termasuk dari limbah plastik.
Berbicara soal sampah plastik, tentu bukan hal yang baru bagi warga Indonesia sendiri.
Dikutip dari Kompas.com, (19/8), Manager Communication Conservation WWF Indonesia, Dewi Satriani, menyatakan bahwa persoalan sampah plastik di Indonesia ini besar sekali.
Indonesia dikenal sebagai penyumbang sampah ke laut terbesar kedua di dunia setelah China.
"(Sampah) yang di darat lebih banyak lagi dari itu," ujar Dewi ketika dihubungi via telepon pada Selasa (13/8/2019).
Daerah Jakarta sendiri saja menghasilkan 12 ribu ton sampah per hari. Melihat fakta-fakta ini, Dewi berpendapat bahwa sampah merupakan rintangan bersama bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. (*)