GridPop.id - Masih ingat dengan artis yang kemudian menjadi politisi bernama Wanda Hamidah?
Ya, Wanda Hamidah disebut mempunyai kemampuan meramal masa depan.
Padahal, serial kicauan itu disampaikan di Tahun 2014.
Kicauan itu dianggap sesuai mencerminkan kenyataan, yang ketika itu belum dialaminya.
Melalui Twitter, Wanda Hamidah telah menyebarkan kultwit.
Salah satu kicauan Wanda adalah:
Nanti punya anak terus hilang engga pulang2 krn mengkritisi pemerintahan, baru nyesel.
Sejumlah kalangan ibu mencari anak-anaknya yang hilang setelah terjadinya demonstrasi mahasiswa dan siswa STM, banyak anak-anak yang belum pulang.
Sejumlah ibu bahkan menangis histeris saat perlakuan kekerasan diterima anaknya sampai kepala mereka pecah.
Selain tidak bersenjata, kalangan pelajar dan mahasiswa yang berdemonstrasi juga bukan orang terlatih, sehingga sekali hajar saja, mereka langsung jatuh.
Seorang di antara mahasiswa yang menjadi korban kekerasan brutal aparat di antaranya Akbar, yang tewas karena disiksa.
Reaksi kalangan netizen alias warganet sebenarnya sudah tidak terhitung menyindir kiprah Wanda Hamidah, yang sempat menjadi anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PAN.
Setelah bercerai dengan suaminya Chico Hakim, yang kemudian menjadi pendukung Joko Widodo (Jokowi), Wanda Hamidah juga kemudian pindah ke Partai Nasdem.
Pada masa Pilpres 2014, Wanda Hamidah menjadi salah satu tokoh yang terdepan menolak kembalinya rezim otoriter.
Karena itu dia menyampaikannya dalam serial kultwit.
Kultwit itu memang ditulis Wanda Hamifah untuk mencegah salah satu kontestan yang diduga otoriter kembali berkuasa di Indonesia.
Kekuasaan itu yang disebut sebagai kekuasaan seperti yang terjadi di masa Orde Baru.
Namun, setelah sekian lama, akhirnya kultwit itu kembali trending topic.
Situasi itu di antaranya terjadi karena ada sejumlah istri TNI yang dikenai tindakan pidana akibat kicauan di media sosial.
Bukan hanya dilaporkan ke polisi, tindakan itu juga melanda suaminya yang bekerja sebagai Dandim, yang dicopot dari jabatannya.
Selain dicopot, dia juga dikurung selama 14 hari meski kicauan itu tidak menyebut nama siapa pun.
Hal serupa dialami sejumlah total 8 istri TNI yang berkicau di medsos dengan tindakan yang mirip.
Serial kultwit itu kemudian di-capture oleh kalangan netizen.
CEdogaawa: Kata leluhur kami " tertawalah sebelum tertawa itu dilarang" namun untuk hal ini saya gk akan tertawa. #WandaHamidahPeramalUlung
Hal serupa banyak dilakukan kalangan netizen lainnya yang menyoroti kicauan politisi tersebut.
Syaiful_bahri08: Terasa sekali sekarang.
UyokBack: Mana The Next Mama Lauren @Wanda_2012?
MuchHilalr: Yah nanti kagak bisa bacot lagi. gak bisa ngetik lagi yg macem2.
R4jaPurwa: Terbukti...#WandaHamidahPeramalUlung37 Kampus Ancam Sanksi Mahasiswa yang Ikut Demonstrasi
mzulkiflimz: Ikutan ah #WandaHamidahPeramalUlung belum ramalan nya JK lhoo ya.
Baca Juga: Awalnya Wanita Ini Dianggap Lemah hingga Disepelekan, Tak Ada yang Percaya Apa yang Dilakukannya Terhadap Pria Angkuh dan Berotot Ini, Lihat Aksinya yang Bikin TercengangSebelum ini, politikus Partai Nasdem, Wanda Hamidah menilai sesuatu yang keluar dari mulut Fadli Zon sangat tidak bermanfaat dan bahkan cenderung lebih banyak mudharatnya.
Pernyataan tersebut dilontarkannya untuk menanggapi berbagai polemik dan kontroversi mengenai kenyinyiran Fadli Zon di dunia maya maupun di alam nyata.
Tak terkecuali menyangkut sejumlah puisi Fadli Zon yang salah satunya berjudul 'Ada Genderuwo di Istana' dan dibalas oleh Irma Suryani Chaniago selaku Ketua DPP Partai Nasdem dengan puisi 'Ada Kacung Chubby Jadi Ratu.
Wanda Hamidah, yang juga menyatakan dirinya sebagai aktivis 98 dan mantan politikus PAN tersebut mengaku belum pernah membaca puisi-puisi yang ditulis Fadli Zon.
Ia mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak tertarik dengan hal-hal yang provokatif, tidak bermanfaat dan cenderung lebih banyak mudharatnya.
"Karena yang keluar dari mulut Fadli Zon semuanya provokatif. Jadi saya nggak merasa perlu untuk membaca dan mendengar yang sifatnya provokatif. Nggak ada gunanya, nggak ada manfaatnya, banyak mudharatnya. Sesuatu yang seperti itu sebaiknya kita hindari. Saya nggak mau energi dan waktu saya terkonsumsi untuk hal-hal yang negatif," ujar Wanda Hamidah saat dijumpai di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (12/11/2018) malam.
Ia memberi saran kepada Fadli Zon, daripada dia nyinyir dengan hal-hal yang tidak bermanfaat lebih baik berbuat sesuatu yang berguna untuk kepentingan rakyat.
Menurutnya, Fadli Zon terkenal bukan karena sepak terjangnya yang positif dan bermanfaat. Akan tetapi lebih karena kontroversi dan polemik yang seringkali dilontarkannya kepada publik.
"Beliau sudah sering melemparkan hal-hal yang 99 persen provokatif. Saya tanya, statement perjuangan Fadli Zon selama di DPR apa? Yang membela kepentingan rakyat apa? Ada nggak? Anda jawab sendiri deh!" Tutur Wanda Hamidah.
Wanita tersebut merasa yakin bahwa masyarakat Indonesia sudah cerdas untuk memilih wakil maupun pemimpin yang benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat.
Sebelumnya, Fadli Zon yang merupakan politikus Partai Gerindra kembali membuat sebuah puisi terkait fenomena terkini yang sedang terjadi di negeri ini.
Kali ini puisi yang ditulis Fadli Zon diberi judul 'Ada Genderuwo di Istana'. Puisi tersebut kemudian ia unggah ke dalam akun Twitternya @fadlizon pada Minggu (11/11/2018).
Istilah Genderuwo menjadi populer setelah Presiden Joko Widodo menyebutnya dalam sebuah pidato ketika menghadiri acara pembagian sertifikat tanah untuk masyarakat Tegal, Jawa Tengah, pada Jumat (9/11/2018).
"Kita lihat dengan propaganda menakutkan, membuat kekhawatiran, dan membuat ketidakpastian. Masyarakat lalu digiring dan dibuat ragu ragu. Cara cara politik seperti ini tidak beretika, dan itu namanya politik genderuwo, menakut nakuti," ujar Jokowi.
Akhir-akhir ini Jokowi diketahui beberapa kali menggunakan istilah nyeleneh di muka publik, seperti 'Politikus Sontoloyo' dan 'Game of Thrones'. Istilah yang digunakan Jokowi untuk menggambarkan situasi tersebut selalu menuai polemik dan menjadi kontroversial.
Terkait 'Politikus Genderuwo' juga mendapatkan sorotan dari Fadli Zon yang terkenal di media sosial.
Berikut puisi Fadli Zon yang diberi judul 'Ada Genderuwo di Istana':
Ada genderuwo di istanaTak semua orang bisa melihatnyaKecuali yang punya Indra istimewa
Makhluk halus rendah strataMenakuti penghuni rumah penguasaBerubah wujud kapan sajaMenjelma manusiaAhli manipulasiTipu sana tipu sini
Ada genderuwo di istanaSeram berewokan mukanyaKini sudah pandai berpolitikLincah manuver startegi dan taktik
Ada genderuwo di istanaMenyebar horor ke pelosok negeriMeneror ibu pertiwi
Fadli Zon, 11 Nopember 2018
Politikus Partai Nasdem, Wanda Hamidah saat dijumpai di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (12/11/2018) malam.
Sebelum ini, untuk mengenang tragedi reformasi 12 Mei 1998, Politisi Partai Nasdem (Nasional Demokrat), Wanda Hamidah unggah foto di Instagram masa-masa Wanda Hamidah pakai almamater Universitas Trisakti.
Diketahui, unggahan foto Wanda Hamidah di Instagram, sebagai bentuk Wanda Hamidah kenang 21 tahun tragedi reformasi 12 Mei 1998.
Dalam foto tersebut, nampak gaya Wanda Hamidah berorasi di tragedi reformasi Mei 1998 tersebut.
WartaKotaLive melansir akun instagram Wanda Hamidah di @wanda_hamidah pada Senin (13/5/2019), Wanda Hamidah membagikan foto-fotonya ketika masih menjadi mahasiswa Trisakti.
Foto-foto ini dibagikannya dalam rangka mengenang 21 tahun Mei Reformasi.
Pada foto pertama pemeran film "Pengejar Angin" itu menjelaskan jika ia sempat berorasi setahun pasca tragedi Trisakti.
Memakai almamater Trisakti ia berorasi di Tugu Pahlawan Reformasi.
"Berlinang air mata membaca kronologis 12 Mei 1998," ungkapnya di akun instagramnya.
Di foto lainnya wanita yang pernah dekat dengan Raffi Ahmad itupun membagikan fotonya saat ikut demonstrasi 1998.
Di akun instagramnya ia pun mengingatkan jika demokrasi yang bisa dinikmati masyarakat saat ini tidaklah gratis.
"Air mata sudah mengering, namun luka masih menganga.. Demokrasi kita tidak gratis!" tulisnya.
Oleh karenanya ia mengajak generasi bangsa untuk bersama-sama menjaga Indonesia terutama dari para koruptor. "Korupsi adl cikal bakal pemerintahan yg otoriter," imbuh mantan istri Chico Hakim itu.
Wanita berambut pendek itupun mengajak masyarakat untuk mendoakan para mahasiswa yang gugur karena memperjuangkan reformasi 1998.
Wanda berharap peristiwa Mei 1998 menjadi sejarah kelam Indonesia yang tidak akan terulang lagi untuk kedua kalinya.
"Cukup sampai 1998," tandas wanita yang pernah menjadi anggota DPRD DKI Jakarta itu.
Ini tulisan lengkap Wanda Hamidah di akun instagramnya :
Memperingati 21 Tahun Tragedi Trisakti/ Reformasi, foto pertama diambil pada peringatan 1 Tahun Tragedi Trisakti di Tugu Pahlawan Reformasi.. berlinang air mata membaca kronologis 12 Mei 1998.Air mata sudah mengering, namun luka masih menganga.. Demokrasi kita tidak gratis! Banyak darah dan airmata.. kita jaga baik-baik, terus perjuangkan nilai yg diperjuangkan mahasiswa 98 dlm melawan korupsi.. korupsi adl cikal bakal pemerintahan yg otoriter.Dibulan Ramadan ini mari selipkan AlFatihah dan doa disetiap shalat kita utk para pahlawan reformasi Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, Hendriawan Sie.. para korban penculikan sblm reformasi, korban Tragedi Semanggi , korban kerusuhan bernuansa rasial dan pembakaran.Cukup sampai 1998.
#mengingat12Mei1998 #menolaklupa
Misteri tragedi reformasi 12 Mei 1998
WartaKotaLive melansir TribunTimur, tragedi Trisakti 12 Mei 1998 - 21 tahun berlalu, penembak 4 pahlawan reformasi itu masih misteri.
Dua puluh satu tahun lalu, 12 Mei 1998, peristiwa mencekam dan berdarah terjadi di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, saat mahasiswa melakukan demonstrasi menentang pemerintahan Soeharto.
Empat mahasiswa tewas dalam penembakan terhadap peserta demonstrasi yang melakukan aksi damai, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie.
Sementara itu, dokumentasi Kontras menulis, korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Tragedi Trisakti menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru.
Setelah tragedi itu, perlawanan mahasiswa dalam menuntut reformasi semakin besar, hingga akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk mundur pada 21 Mei 1998.
Kerusuhan yang bernuansa rasial sebenarnya sempat terjadi sehari setelah Tragedi Trisakti, yaitu pada 13-15 Mei 1998.
Namun, kerusuhan itu tidak mengalihkan perhatian mahasiswa untuk tetap bergerak dan menuntut perubahan.
Hingga kemudian, pada 18 Mei 1998 mahasiswa berhasil menguasai kompleks gedung MPR/DPR, dan beberapa hari kemudian menjatuhkan pemerintahan yang berkuasa selama 32 tahun.
Lalu, apa yang terjadi pada 12 Mei 1998 itu?
Demonstrasi mahasiswa di Universitas Trisakti merupakan rangkaian aksi mahasiswa yang menuntut reformasi sejak awal 1998.
Aksi mahasiswa semakin terbuka dan berani sejak Soeharto diangkat menjadi presiden untuk ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR pada 10 Maret 1998.
Jika sebelum Sidang Umum MPR pada 1-11 Mei 1998 aksi mahasiswa digelar di dalam kampus, saat sidang itu digelar mahasiswa mulai bergerak ke luar kampus.
Dikutip dari dokumentasi Kompas, di sela sidang, pada 5 Maret 1998, sekitar 20 mahasiswa Universitas Indonesia bahkan pernah bertemu Fraksi ABRI untuk menyuarakan penolakan laporan pertanggungjawaban Soeharto.
Meski demikian, tuntutan itu sebatas didengarkan dan tidak dipenuhi.
Setelah Soeharto terpilih kembali, aksi mahasiswa mulai dilakukan di luar kampus.
Aksi di kampus Trisakti pada 12 Mei 1998 tercatat sebagai salah satu demonstrasi mahasiswa terbesar yang dilakukan di luar kampus.
Posisi kampus yang strategis, dekat dengan kompleks gedung DPR/MPR, menjadikan Universitas Trisakti menjadi titik berkumpul mahasiswa dari berbagai kampus.
Kompas mencatat, aksi itu dimulai sekitar pukul 11.00 WIB.
Agenda aksi saat itu termasuk mendengarkan orasi Jenderal Besar AH Nasution, meski kemudian tidak jadi datang.
Orasi pun dilakukan para guru besar, dosen, dan mahasiswa.
Sekitar pukul 13.00 WIB, peserta aksi mulai keluar kampus dan tumpah ruah di Jalan S Parman.
Mereka hendak long march menuju gedung MPR/DPR di Senayan.
Barisan depan terdiri dari para mahasiswi yang membagi-bagikan mawar kepada aparat kepolisian yang mengadang ribuan peserta demonstrasi.
Negosiasi pun dilakukan.
Pimpinan mahasiswa, alumni, Dekan Fakultas Hukum Trisakti Adi Andojo, dan Komandan Kodim Jakarta Barat Letkol (Inf) A Amril sepakat bahwa aksi damai hanya bisa dilakukan hingga depan Kantor Wali Kota Jakarta Barat, sekitar 300 meter dari pintu utama Trisakti.
Berdasarkan kesepakatan itu, mahasiswa melanjutkan aksi dengan menggelar mimbar bebas menuntut agenda reformasi dan Sidang Istimewa MPR.
Seorang mahasiswa jatuh tergeletak terkena pukulan pasukan anti huru-hara yang berusaha membubarkan aksi unjuk rasa menuntut Presiden Soeharto mundur di depan Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta, 12 Mei 1998.
Pada aksi tersebut empat mahasiswa Trisakti tewas terkena tembakan. Namun hingga saat ini, kasus tertembaknya mahasiswa Trisakti itu masih belum terungkap meski Komisi Nasional HAM telah merekomendasikan untuk dilakukan pengusutan.
Aksi berjalan hingga pukul 17.00 WIB, tanpa ketegangan yang berarti.
Saat itu, sebagian peserta aksi juga mulai masuk ke dalam kampus.
Akan tetapi, justru saat 70 persen mahasiswa sudah masuk ke dalam kampus, terdengar letusan senjata dari arah aparat keamanan.
Sontak, massa aksi yang panik kemudian berhamburan, lari tunggang langgang ke dalam kampus. Ada juga yang melompati pagar jalan tol demi keselamatan diri.
Setelah itu, aparat keamanan bergerak dan mulai memukuli mahasiswa.
Perlawanan dilakukan, mahasiswa mulai melempar aparat keamanan dengan benda apa pun dari dalam kampus.
Penembakan terhadap mahasiswa diketahui tidak hanya berasal dari aparat keamanan yang berada di hadapan peserta demonstrasi.
Dalam berbagai dokumentasi televisi, terlihat juga tembakan yang dilakukan dari atas fly over Grogol dan jembatan penyeberangan.
Aparat keamanan tidak hanya menembak dengan menggunakan peluru karet.
Pihak kampus pun menemukan adanya tembakan yang terarah, dengan menggunakan peluru tajam.
"Kita sudah bilang aparat jangan represif, tapi kok seperti ini. Mahasiswa saya ditembaki dengan peluru tajam, dan itu berlangsung di dalam kampus," ujar Adi Andojo yang juga menjadi Ketua Krisis Centre Universitas Trisakti.
"Padahal seharusnya ada prosedurnya. Kok ini tiba-tiba pakai peluru tajam, dan mereka (mahasiswa) sudah berada di dalam kampus. Padahal mahasiswa tidak melawan, tidak melempar batu, dan tidak melakukan kekerasan. Mahasiswa saya itu sudah berangsur-angsur pulang ke kampus," kata Adi.
Wakil Ketua Komnas HAM Marzuki Darusman yang hadir di kampus Trisakti pun menyatakan adanya serangan terhadap kemanusiaan dalam menangani aksi massa.
Mahasiswa yang menjadi korban penembakan kemudian dilarikan ke sejumlah rumah sakit terdekat, terutama RS Sumber Waras.
Suasana memilukan begitu terasa di Unit Gawat Darurat RS Sumber Waras.
Rasa cemas, sedih, takut, serta marah begitu terasa.
Dalam jumpa pers yang dilakukan, pihak kampus menyatakan ada enam korban tewas, yang beberapa hari kemudian dipastikan ada empat mahasiswa Trisakti yang menjadi korban.
Misteri Penembak
Dikutip dari buku Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah yang Tak Terungkap (2016) yang ditulis Rosidi Rizkiandi, ahli kedokteran forensik dr Abdul Mun'im Idries mengatakan bahwa hasil visum memang memperlihatkan serpihan peluru kaliber 5,56 mm di tubuh Hery Hertanto.
Peluru itu biasanya digunakan senjata laras panjang jenis Styer atau SS-1.
Saat itu, senjata Styer digunakan oleh satuan Brimob atau Kopassus.
Hasil otopsi Tim Pencari Fakta ABRI juga mengungkap hasil yang sama.
Hal senada juga didapat dari uji balistik di Forensic Technology Inc di Montreal, Kanada.
Namun, Kapolri saat itu, Jenderal Pol Dibyo Widodo membantah anak buahnya menggunakan peluru tajam.
Kapolda Metro Jaya Hamami Nata juga menyatakan bahwa polisi hanya menggunakan tongkat pemukul, peluru kosong, peluru karet, dan gas air mata.
Persidangan terhadap enam terdakwa beberapa tahun kemudian juga tidak dapat mengungkap siapa penembak mahasiswa yang menggunakan peluru tajam dan motifnya.
Brimob yang sedang mengamankan kerusuhan di sekitar kampus Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998.
Enam terdakwa hanya dituduh dengan sengaja tidak menaati perintah atasan.
Misteri penembakan masih menyelimuti sejarah kelam itu.
Akan tetapi, empat mahasiswa yang tewas dalam Tragedi 12 Mei 1998 tetap dikenang sebagai pahlawan reformasi.