Ada tidaknya wewe gombel ini pun mungkin masih menjadi tanda tanya bagi sebagian orang yang tidak percaya.
Namun, seorang Juru Kunci pernah memaparkan ada 40 jenis hantu dari berbagai wilayan di Indonesia, termasuk wewe gombel.
"Di Jawa berdasarkan cerita ada lelembut. Jenisnya beragam seperti Genderuwo, Wewe, Peri, dan Banaspati," kata Sunu Wasono, dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) dihubungi Kompas.com, Senin (15/10/2018).
Hantu-hantu lain adalah Akar Mimang dari Jawa, Banyu dari Samarinda, Jerangkong dari Jawa, Orang Pote dari Bawean, Palasik dari Minangkabau, Begu Ganjang dari Sumatra Utara, Kuyang dari Kalimantan, Banaspati dari Jawa, serta Peri dan Lampor dari Jawa.
Meski hantu dalam imaji orang Indonesia beragam, kini tinggal sedikit yang masih menghantui hidup manusia, baik nyata lewat cerita mulut ke mulut ataupun di layar kaca.
Pocong, kuntilanak, dan wewe adalah tiga yang saat ini masih sering diceritakan mulut ke mulut maupun di layar kaca. Di film, malah ada sejumlah hantu-hantu baru hasil kreasi manusia, stan budeg misalnya.
Menurut dosen Sastra yang membuat disertasi tentang dongeng lelembut, cerita hantu mencerminkan pandangan atau kepercayaan masyarakat karena bersinggungan dengan kehidupan dan kematian.
Orang Jawa mempercayai dua konsep kematian. Pertama, kematian baik seperti meninggal karena usia sudah tua, meninggal saat melahirkan atau dilahirkan. Kedua, kematian yang tidak lumrah karena kecelakaan atau mati bunuh diri.
Banyak yang percaya, orang yang meninggal dengan alasan tidak lumrah akan terus bergentayangan dan menjadi lelembut.
Baca Juga: Tak Nyaman dengan Keringat Berlebih Saat Hamil? Ternyata Begini Cara Mengatasinya, Terbukti Ampuh!
Entah dari mana cerita rakyat tersebut lahir dan terus berkembang, Sunu meyakini bahwa cerita te berusrkembang karena kepercayaan masyarakat.
"Banyaknya jenis makhluk halus di Indonesia berakar dari keyakinan bahwa ada kehidupan lain selain kehidupan kita. Akarnya dari tradisi lama," ungkapnya.
Saat ini, film dapat berperan sebagai media untuk mengenal dan memahami bagaimana kekayaan tradisi yang kita punya.
Tak terkecuali dengan cerita rakyat makhluk halus.
"Semua hal bisa digarap untuk film, enggak apa-apa. Pada waktu tertentu orang mungkin akan bosan kalau (pola) sama. Mungkin bisa dibuat yang menarik dengan pola berbeda," katanya. (*)