Direktur Rumah Sakit Terapung Ksatria Airlangga (RSTKA), dr. Agus Harianto, SpB, menyatakan dirinya sangat prihatin dengan perbedaan yang mencolok antara pelayanana kesehatan antara masyarakat perkotaan dengan warga yang ada di wilayah kepulauan. “Memang, antara kota dengan kepulauan tidak mungkin bisa sama. Tetapi yang terjadi sekarang jurang perbedaan itu sangat lebar,” kata dr. Agus, yang membawa RSTKA yang dipimpinnya mengadakan pelayanan kesehatan di berbagai kepualaun di wilayah Sulsel.
Dokter Agus menjelaskan ada dua hal yang harus dilakukan pemerintah agar jurang ketimpangan pelayanan itu bisa dipersempit. Pertama, dilakukan penataan ulang rumah sakit di daerah kepulauan. Seharusnya di setiap 75 mil laut seharusnya berdiri satu rumah sakit sekaligus dengan dokter spesialis di dalamnya. Angka 75 mil itu dijadikan patokan, karena untuk perahu mampu memempu perjalanan pada radius itu 10-12 jam lamanya.
Kedua, Indonesia memiliki 17.500-an pulau, 2.500-an pulau diantaranya berpenghuni. Belajar dari pengalaman RSTKA dalam setahun hanya mampu menjelajah 25 pulau terpencil. Maka idealnya agar masyarakat kepulauan terlayani dengan baik maka harus ada 100 rumah sakit terapung yang melayani. Dokter Agus, memaparkan sejak dua tahun lalu diresmikannya RSTKA sudah puluhan pulau disinggahi, dan ribuan pasien yang sudah dilayani. Tetapi semakin masuk ke pedalaman semakin tergambar jelas betapa ketimpangan itu terjadi. “Padahal, kesehatan itu adalah hak paling mendasar dari setiap warga negera seharusnya hal itu tidak boleh terjadi,” katanya.
Agus menilai Indonesia sebagai negara maritim dimana ada ribuan pulau diatasnya, maka yang paling pas adalah dibuatkannya kapal rumah sakit terapung. Kapal rumah sakit sangat ideal karena bisa mobile ke berbagai lokasi terpencil.Keberadaan RSTKA sebenarnya hanya sebagai pemantik karena tidak selamanya ada. Tujuannya agar daerah terutama yang wilayahnya dikelilingi oleh lautan menyediakan sarana sejenis. “Kalau setiap propinsi apalagi sampai level kabupaten menyediakan layanan kesehatan seperti RSTKA yang lakukan maka persoalan kesehatan di kepulauan akan selesai,” imbuh Agus.
MENOLAK DITEMPATKAN
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Pangkep, dr. Indriany Latif, MKes, ketika dihubungi, Selasa (5/11) mengakui bahwa pelayanan kesehatan pada masyarakat di kepualauan Pangkep memang sangat timpang dibanding dengan perkotaan. “Kami akui belum belum bisa memberikan pelayanan yang memadai, karena selain fasilitas sekaligus tenaga dokter juga sangat minim,” kata Indriany.Indriany kembali menegaskan bahwa saat ini memang tidak ada dana khusus dari pusat untuk pengadaan fasilitas kesehatan, misalnya kapal rumah sakit yang secara khusus mobile dari satu pulau ke pulau lain secara berkelanjutan. “Selain itu tenaga dokter juga tidak ada sehingga mengandalkan tenaga perawat atau bidan saja,” papar Indriany.
Soal tenaga dokter lanjut Indriany memang cukup pelik. Pihak pemerintah daerah sebenernya sudah berupaya menempatkan dokter umum di beberapa Puskesmas di kawasan kepualana. Tapi persoalannya tidak semua dokter bersedia ditempatkan disana. Pada tahun lalu misalnya, sebenarnya Pangkep ada empat orang dokter yang akan ditempatkan di kecamatan Liukang Tangaya, Liukang Kalmas serta pulau-pulau sekitar. Tetapi begitu mereka tahu akan ditempatkan di kawasan jauh dari perkotaan para dokter tersebut tidak bersedia dan langsung mengundurkan diri sebagai ASN dan memilih praktiek di perkotaan. “Jadi soal pemerataan dokter ini tidak mudah,” imbuhnya.
Kendati demikian pihak pemda tetap berusaha maksimal agar masyarakat kepualauan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik. Salah satunya dalam waktu dekat ada ambulance air hibah dari propinsi Sulsel yang diberikan kepada Kabupaten Pangkep yang rencannya akan ditempatkan di Liukang Tangaya. “Insya Allah Desember sudah bisa kita luncurkan dan untuk melayanai pulau-pulau yang ada di sekitar Liukang Tangaya,” jelasnya.
Di dalam ambulans tersebut kelak ada perawat dan bidan yang tujuannya untun mengambil pasien di beberapa pulau yang membutuhkan pertolongan untuk dibawa ke rumah sakit terdekat.
Selain itu Indriany juga mengakui bidan dengan status tunjangan harian di kepualauan dibayar sebesar Rp 500.000 per bulan. Menurutnya bahwa Pemda tidak memiliki cukup dana untuk membayar para bidan tersebut dengan nilai yang lebih layak. “Mereka itu sebenarnya adalah tenaga sukarela tetapi apapun kami tidak mungkin tinggal diam saja makanya kami bayar sesuai dengan kemampuan keuangan yang ada yaitu Rp 500.000 bulan dan baru kami cairkan setiap 3 bulan sekali,” katanya.
Salah satu alasan Pemda belum bisa membayar dengan nilai yang layak, sebab bidan yang masuk status THL (tenaga harian lepas) tersebut untuk Pemda Pangkep saat ini jumlah mencapai 5000 orang, “Tenaga kesehatan itu tidak hanya di kepulauan, saja tetapi juga ada di desa-desa bahkan pegunungan,” imbuhnya. (*)
Gandhi Wasono M