GridPop.ID - Ancaman pembunuhan bagi tokoh pemerintah, menurut catatan sejarah sangat kerap terjadi.
Presiden Soekarno pun juga berkali-kali mengalami ancaman ini.
Kala itu, seorang penembak jitu Sanusi akan menembak Soekarno dalam jarak dekat ketika dirinya Sholat Idul Adha.
Tetapi, entah mengapa pandangan si penembak tiba-tiba kabur.
Bukan hanya itu, bayangan Soekarno berpindah-pindah, membuat tembakan itu selalu gagal.
Terungkap jawaban dari sebuah misteri atas pertanyaan tersebut.
Melihat catatan sejarah puluhan tahun silam, upaya penyerangan terhadap tokoh-tokoh pemerintahan kerap terjadi.
Bahkan Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno berkali-kali menjadi target pembunuhan.
Namun penyerangan terhadap Sang Putra Fajar berkali-kali pula gagal.
Salah satu upaya pembunuhan itu saat Soekarno melaksanakan sholat Idul Adha.
Dalam buku Soekarno Poenja Tjerita terbitan Bentang tahun 2016, penyerangan itu terjadi pada 14 Mei 1962.
Kala itu Sanusi diperintah Kartosoewiryo yang merupakan pimpinan Negara Islam Indonesia (NII) untuk membunuh Soekarno.
Kartosoewiryo sendiri sebenarnya adalah teman Soekarno saat masih kos di Gang Peneleh, Surabaya.
Mendapat perintah, Sanusi menunggu momen yang tepat untuk melaksanakannya.
Dia memilih momen Idul Adha karena diketahui penjagaan Istana tidak begitu ketat.
Sehari sebelum upaya pembunuhan Soekarno
Dalam autobiografi Mangil berjudul Kesaksian tentang Bung Karno, 1945-1967, Minggu pagi 13 Mei 1962 Mangil Martowidjojo, Komandan Kawal Pribadi Soekarno kedatangan Komandan Pengawal Istana Presiden, Kapten CPM Dachlan.
Kapten Dachlan menyampaikan ada upaya pembunuhan dari kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) terhadap Presiden Soekarno di Hari Raya Idul Adha.
Pasalnya pada 14 Mei 1962 Soekarno akan melaksanakan sholat Ied di halaman Istana dengan beberapa tokoh agama, dan terbuka bagi siapa saja.
14 Mei 1962
Pagi buta, Mangil sudah datang ke tempat Soekarno akan melaksanakan sholat berjamaah.
Semua sudut diperiksa Mangil dan anak buahnya.
Mangil merencanakan enam pos dengan masing-masing ditempati dua pengawal demi mengantisipasi serangan bersenjata dari luar.
Peserta sholat Ied mulai berdatangan dan baris atau saf diatur.
Disebutkan Mangil mendapat informasi dari Kepala Rumah Tangga Istana Soehardjo Hardjowardojo siapa saja yang ada di barisan pertama hingga keempat.
Baris pertama diisi oleh Soekarno dan personel Angkatan Darat.
Begitu pula baris kedua hingga keempat diisi personel militer dan kepolisian.
Sementara anak-anak buah Mangil tersebar berselang-seling di belakang Soekarno.
Mangil dan Sudiyo menempatkan diri di depan presiden menghadap orang-orang yang sholat demi keamanan.
Bayangan Soekarno bergeser-geser
Sanusi menembakkan pistol ke arah Soekarno.
Beruntung, peluru tersebut gagal meluncur ke arah Soekarno.
Kendati demikian, sejumlah jamaah salat Idul Adha mengalami luka akibat tertembak di bahu dan punggung.
"Penembakan yang dilakukan dari jarak sekitar 7 meter (penembak berada di saf ketujuh), meleset," begitu penjelasan dalam buku itu.
Hal ini terlihat mustahil lantaran Sanusi merupakan penembak jitu alias sniper andalan DI/NII.
"Jalan kematian memang bukan kuasa manusia," tulis buku itu.
Namun, berdasarkan pengakuan Sanusi, pandangannya mendadak kabur saat akan menembak.
Yang dilihatnya adalah bayang-bayang sosok Soekarno yang bergeser-geser, dari satu posisi ke posisi lain.
"Karena itulah, tembakannya pun menjadi ngawur," tambah buku tersebut.
Dalam sidang, Sanusi Firkat alias Usfik, Kamil alias Harun, Djajapermana alias Hidajat, Napdi alias Hamdan, Abudin alias Hambali, dan Mardjuk bin Ahmad Dijatuhi hukuman mati.
Selain menangkap mereka, pemerintah saat itu juga berhasil menangkap Kartosoewiryo.
Kartosoewiryo ditangkap tentara Siliwangi saat bersembunyi di dalam gubuk yang ada di Gunung Rakutak, Jawa Barat,4 Juni 1962.
Vonis mati dijatuhkan kepada Kartosoewiryo.
Soekarno menolak grasi mantan sahabatnya itu, sehingga Kartosoewiryo pun tetap dieksekusi mati.
Meski begitu, Soekarno bertanya kepada regu tembak pasca eksekusi itu dilakukan.
"Bagaimana sorot matanya? Bagaimana sorot mata Kartosoewiryo?
Bagaimana sorot matanya?" tanya Soekarno.
Mendapatkan pertanyaan itu mereka pun menjadi bingung.
Meski demikian, seorang ajudan spontan menjawabnya.
"Sorot mata Kartosoewiryo tajam. Setajam tatapan harimau pak," jawabnya.
Mendapatkan jawaban seperti itu, Soekarno lantas bernafas lega, dan melempar tubuh ke sandaran kursi,
Tak lama setelah itu, Soekarno pun mendoakan keselamatan arwah Kartosoewiryo.
(*)