Ketika Keperawanan Dipersoalkan
Dalam buku Healthy Sexual 3 terbitan PT Intisari Mediatama persoalan keperawanan ini juga dibahas.
Di masa lalu, darah di malam pertama menjadi tanda keperawanan seorang wanita. Sehelai kain putih dijadikan alas tidur kedua mempelai.
Jika di pagi hari tak ada bercak, secara adat sang suami berhak mengembalikan mempelai putri pada keluarganya.
Pernikahan batal. Bahkan ada yang menuntut mahar dikembalikan.
Si wanita akan dikucilkan dan menanggung malu selamanya. Sampai akhirnya ada lelaki yang bersedia mengawininya, tapi ia harus dibawa pergi dari komunitas itu.
Ternyata, pemuliaan keperawanan masih dianut sebagian lelaki hingga masa kini. Bahkan mungkin sebagian besar lelaki.
Dra. Ieda Purnomo Sigit Sidi, psikolog, memahami bahwa kepercayaan orang yang menjumpai istrinya tidak perawan akan terlukai.
Tapi ia mengingatkan, robeknya selaput dara bukan hanya akibat hubungan seksual. Bisa jadi karena selaputnya terlalu kenyal, lubangnya terlalu besar, atau bahkan jatuh dari sepeda sewaktu kecil.
Justru kepada lelaki seperti itu Ida bertanya, sudahkah ia memberi hak pada istrinya untuk menuntut keperjakaan dirinya?
Dikatakan, setiap orang memiliki masa lalu, sementara kehidupan adalah tiga serangkai: kemarin, kini, dan esok.
Bukankah masih ada hari ini ke depan untuk membangun komitmen baru, rasa kepercayaan baru, ketimbang mengubek masa lalu yang membuat perkawinan itu jadi neraka?
Itulah akibat dunia ini didominasi laki-laki. "Mereka yang membuat peraturan, pastilah dicari yang tidak menyusahkan mereka. Jadi, tuntutan lebih banyak ditujukan pada perempuan." (*)