Find Us On Social Media :

Bak Angin Segar di Tengah Pandemi, WHO Umumkan Obat Kedua yang Efektif Bagi Pasien Covid-19 Dengan Kategori Parah dan Kritis

By Luvy Octaviani, Kamis, 8 Juli 2021 | 11:23 WIB

(ilustrasi) virus corona yang bertahan dalam tubuh

GridPop.ID - Sampai saat ini berbagai belahan dunia masih terus berjuang memerangi pandemi Covid-19.Dikutip dari laman tribunnews.com, per Rabu (7/7/2021), jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia bertambah 34.379 pasien.Dari penambahan 34.379 kasus tersebut, tersebar di 34 provinsi di Indonesia.Data dari Peta Sebaran Covid-19 pada laman covid19.go.id/peta-sebaran, total kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia kini menjadi 2.379.397 pasien.

Baca Juga: Miliki Jiwa Toleransi Tinggi, Betrand Antolin Sambut Hari Raya Idul Adha 2021 hingga Siapkan Wakaf 200 Al-Qur'an Untuk Anak YatimTotal jumlah pasien yang sembuh hingga kemarin menjadi 1.973.388 di seluruh Indonesia.Hal ini dikarenakan adanya penambahan pasien sembuh sebanyak 14.835 orang.Sementara itu, jumlah pasien Covid-19 yang meninggal dunia dalam 24 jam sebanyak 1.040  orang.Kemudian, total ada 62.908 orang yang dinyatakan meninggal dunia hingga hari ini.

Seolah angin segar di tengah pandemi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menambahkan obat penghambat reseptor interleukin-6, ke dalam daftar obat perawatan yang diharapkan dapat menyelamatkan pasien Covid-19. Itu merupakan obat kedua yang direkomendasikan WHO efektif melawan penyakit ini, saat pandemi terus meningkat di seluruh dunia.WHO mengatakan obat-obatan bekerja sangat baik bila digunakan bersama corticosteroids, yang direkomendasikan oleh WHO pada September 2020.

Baca Juga: Beranikan Diri Keluar Rumah Gegara Dengar Suara Aneh, Wanita Ini Dapati Ransel Bergantung di Pagar yang Isinya Bikin Syok! "Obat-obatan ini menawarkan harapan bagi pasien dan keluarga yang menderita dampak buruk dari Covid-19 yang parah dan kritis," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam sebuah pernyataan melansir Al Jazeera pada Rabu (7/7/2021) dikutip oleh kompas.com.Pasien dengan kasus Covid-19 yang parah sering menderita reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh, dan obat interleukin-6 (tocilizumab dan sarilumab) bertindak untuk menekan reaksi berlebihan tersebut.WHO mengatakan uji coba menunjukkan bahwa pemberian obat ini mengurangi kemungkinan kematian sebesar 13 persen, dibandingkan dengan perawatan standar.

Artinya, dengan penggunaan interleukin-6 diharap akan ada 15 kematian lebih sedikit per seribu pasien, atau sekitar 28 kematian lebih sedikit untuk setiap seribu pasien sakit kritis.

Dengan obat ini, kemungkinan pasien yang sakit parah dan kritis yang memakai ventilator berkurang 28 persen, dibandingkan dengan perawatan standar.

Rekomendasi itu muncul ketika negara-negara di seluruh dunia termasuk Afrika Selatan, Indonesia, dan Bangladesh memerangi gelombang baru virus yang menghancurkan, dipicu oleh varian Delta yang pertama kali muncul di India.WHO masih berupaya untuk menghapus perlindungan paten pada vaksin Covid-19 untuk meningkatkan akses bagi negara-negara miskin. Ada juga seruan untuk menghilangkan hambatan “hak kekayaan intelektual” tersebut pada obat-obatan yang penting untuk pengobatan efektif virus corona yang parah.

Baca Juga: Berniat Rampok Kediaman Seorang Wanita, Pria Ini Urungkan Niat dan Malah Lakukan Hal Bejat Usai Melihat Korban Keluar Kamar Mandi

Tocilizumab termasuk dalam kelas obat yang disebut antibodi monoklonal (mAbs).

Obat ini digunakan dalam pengobatan berbagai penyakit termasuk radang sendi dan kanker, dan diproduksi oleh raksasa farmasi Swiss, Roche. Obat itu dijual di bawah nama merek Actemra. Mengikuti rekomendasi WHO, Doctors without Borders (dikenal dengan inisial bahasa Perancisnya, MSF) mendesak Roche untuk menurunkan harga obat agar terjangkau dan dapat diakses. Perusahaan itu juga diminta untuk berbagi pengetahuan, lini sel induk, dan teknologi dari obat itu, sehingga memungkinkan obat itu diproduksi oleh produsen lain lintas dunia. “Obat ini dapat menjadi penting untuk merawat orang dengan kasus Covid-19 yang kritis dan parah serta mengurangi kebutuhan akan ventilator dan oksigen medis yang langka di banyak tempat,” kata Julien Potet, Penasihat Kebijakan Penyakit Tropis yang Terabaikan di Kampanye Akses MSF dalam sebuah pernyataan.

Menurutnya, Roche harus berhenti mengikuti pendekatan bisnis seperti biasa dan mengambil langkah-langkah mendesak. Jadi, obat tersebut dapat diakses dan terjangkau oleh semua orang yang membutuhkannya. “Terlalu banyak nyawa yang dipertaruhkan,” ujat Potet.Sebagian besar obat antibodi monoklonal (mAbs) yang ada mahal. Jadi obat itu dikhawatirkan tidak terjangkau oleh negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. MSF mengatakan sementara tocilizumab telah ada di pasaran sejak 2009, harganya tetap sangat tinggi di sebagian besar negara.

Baca Juga: Tertidur Sendirian di Kamar, Wanita ini Baru Sadar dan Menjerit Lihat Pria di Sampingnya Ternyata Bukan SuaminyaDalam dosis 600 mg yang dibutuhkan untuk Covid-19, harga kisarannya dari 410 dollar AS (Rp 5,9 juta) di Australia, 646 dollar AS (Rp 9,3 juta) di India, dan 3.625 dollar AS (Rp 52.5 juta) di Amerika Serikat. Sementara “Biaya untuk memproduksi tocilizumab diperkirakan setidaknya 40 dollar AS (Rp 579.894) per 400 mg dosis,” terang Potet. Sarilumab, obat antibodi monoklonal (mAbs) kedua yang direkomendasikan oleh WHO, dibuat oleh perusahaan farmasi AS Regeneron dan pembuat obat Perancis Sanofi. Produk tersebut dipasarkan dengan merek Kevzara. Regeneron telah mengajukan dan mendapat paten atas sarilumab dan formulasinya, di setidaknya 50 negara berpenghasilan rendah dan menengah, menurut MSF.WHO juga meminta produsen untuk mengurangi harga obat, menerima perjanjian lisensi non-eksklusif yang transparan atau mengabaikan hak eksklusivitas. “Pemblokir reseptor IL-6 (interleukin-6) tetap tidak dapat diakses dan tidak terjangkau untuk sebagian besar dunia,” kata Ghebreyesus. Menurutnya, distribusi vaksin yang tidak merata membuat orang-orang di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah paling rentan terhadap infeksi parah Covid-19. “Jadi, kebutuhan terbesar obat-obatan ini adalah di negara-negara yang saat ini memiliki akses paling sedikit. Kita harus segera mengubah ini (harga yang mahal).”

Obat covid-19 rekomendasi WHO tersebut berdasarkan analisis data dari lebih dari 10.000 pasien yang terlibat dalam 27 uji klinis. GridPop.ID (*)