Setelah revolusi dan memerintah China selama delapan tahun, pada tahun 1958, Pemimpin China Mao Zedong memutuskan sudah saatnya untuk "Lompatan Jauh ke Depan".
Tapi, hal ini nyatanya tak bisa menyelamatkan China dari keterpurukan Dilansir AFP, pada puncak hiruk-pikuk Revolusi Kebudayaan China, sejumlah orang yang dianggap "musuh", disantap dalam “perjamuan daging” yang mengerikan.
Satu dekade kekerasan dan kehancuran di seluruh China pun berlangsung, ketika konflik kelas yang dipimpin partai berubah menjadi kekacauan sosial.
Partai Komunis China, yang sejak lama memutuskan bahwa Mao "70 persen benar dan 30 persen salah", tidak mengizinkan diskusi penuh tentang peristiwa kanibalisme ini.
Padahal, peristwa ini banyak terjadi di Wuxuan, di wilayah paling selatan Guangxi, di mana jantung, hati, dan alat kelamin para korban dipotong dan dijadikan makanan.
Penulis Yang Jisheng mengatakan pada Guardian, bagaimana dia mengumpulkan kesaksian tentang kanibalisme untuk buku yang berjudul "Tombstone", yang dilarang di China.
"Orang-orang memakan mayat dan berjuang untuk mayat-mayat itu. Mereka memakan anak-anak mereka sendiri," ujarnya.
Awalnya, Yang tidak percaya itu terjadi.
Tetapi ketika dia mewawancarai orang-orang, dia menemukan bagaimana tetangga yang kelaparan memakan tetangganya, orang tua memakan anak-anak mereka, dan sebaliknya.
Massa perampok mendobrak masuk ke rumah-rumah dan membunuh orang-orang di dalamnya untuk diambil dagingnya."
"Orang-orang memakan mayat dan berjuang untuk mayat," tulisnya, dikutip Guardian.
"Di Gansu mereka membunuh orang luar, yakni orang asing lewat yang lewat, dan memakannya. Mereka juga memakan anak-anak mereka sendiri. Mengerikan. Terlalu mengerikan," tulisnya.