Dilansir dari Harian Kompas (12/8/1968) via Tribunnews.com, kala itu, Menteri Luar Negeri Adam Malik menilai Bendera Pusaka tak perlu selalu dikibarkan di setiap peringatan Hari Kemerdekaan.
"Seakan-akan kalau Bendera Pusaka itu tidak dikibarkan, peringatan 17 Agustus itu tidak sah. Ini hanya menimbulkan mistik," kata Adam Malik dikutip dari Harian Kompas, 15 Agustus 1967.
Menurutnya , bendera itu sebaiknya disimpan di museum, sehingga nilai sejarahnya lebih terasa.
Dalam sejarahnya, Bendera Pusaka Merah Putih dijahit oleh Fatmawati, istri pertama Presiden Soekarno.
Kala itu, Fatmawati yang berusia 21 tahun dan tengah mengandung anak pertamanya, Guntu Soekarnoputra.
Ia menjahit sambil menitihkan air air mata.
"Berulangkali saya menumpahkan air mata di atas bendera yang sedang saya jahit itu," kata Fatmawati dalam buku "Berkibarlah Benderaku, Tradisi Pengibaran Bendera Pusaka" (2003) karya Bondan Winarno.
"Menjelang kelahiran Guntur, ketika usia kandungan telah mencukupi bulannya, saya paksakan diri menjahit bendera Merah Putih. Saya jahit berangsur-angsur dengan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan saja. Sebab dokter melarang saya menggunakan kaki untuk menggerakkan mesin jahit," sambungnya.
Tak hanya diiringi dengan air mata, Bendera Pusaka pun pernah dibelah menjadi dua oleh Mutahar yang ditugaskan oleh Soekarno untuk menyelamatkannya kala itu.
Hal itu dilakukan saat Belanda menduduki Yogyakarta pada 1948.
Baru setelah keadaan aman, bendera itu dijahit kembali seperti semula.