Masalahnya, hingga 100 tahun lebih setelah penyakit itu mewabah, penyebab tentang penyakit tidur ini masih belum diketahui umat manusia dengan pasti.
Para peneliti pun masih berupaya mengumpulkan lebih banyak informasi relevan tentang pandemi penyakit tidur hingga saat ini.
Dilansir dari Kompas.com, gejala aneh penyakit tidur pada 1916 dimulai dengan gejala yang tidak memungkinkan tenaga medis segera memberikan diagnosis.
Awalnya penderita mengalami kelelahan, demam dan sakit kepala hebat, nyeri sendi dan berbagai gejala lainnya.
Ketika sistem saraf pusat mulai terserang, korban menderita kelesuan mental dan fisik yang ekstrem, maka dinamakan "penyakit tidur", diikuti oleh kejang, koma dan kematian.
Perubahan dalam tubuh cukup lambat, namun perilaku aneh neuropsikiatri (sistem saraf) yang diperlihatkan menyebabkan orang mengantuk lesu.
Dalam kondisi ini, pasien yang tidur seperti sudah memasuki keadaan koma. Secara umum pasien menunjukkan berbagai macam gejala pasca ensefalitis (koma), mulai dari kelumpuhan hingga membeku dengan otot-otot kaku seperti patung dalam tidur.
Perubahan ini dianggap sebagai gejala lanjutan dari penyakit tidur yang memburuk. Anehnya, tidak semua pasien penyakit tidur mengalami gejala-gejala tersebut.
Selain itu, tingkat keparahan tiap pasien juga berbeda satu sama lain.
Literatur medis saat itu melaporkan sepertiga dari pasien meninggal karena gagal napas karena disfungsi neurologis, sehingga penyakit tidur dianggap sangat mematikan hingga meresahkan.
Beberapa ratus ribu orang meninggal karena penyakit tidur ini, walaupun sebagian besar masih bisa sembuh.