GridPop.ID - Kabarnya sebentar lagi Indonesia bakal punya tetangga baru.
Ya, negara baru ini kelak masuk daftar negara bagian Asia Tenggara yang memiliki pariwisata yang indah.
Daerah ini memiliki panorama indah di dekat Indonesia, tetapi orang-orang harus berhati-hati jika berwisata ke sana.
Calon negara baru tersebut adalah Bougainville, yang memilih merdeka dari Papua Nugini dalam referendum 2019.
Dilansir dari Kompas.com, proses pelepasan diri Bougainville akan dimulai pada 2023, dan diperkirakan bisa merdeka sepenuhnya tahun 2027.
Hasil referendum membuat warga lokal dan pengamat internasional optimis dengan masa depan cerah Bougainville, karena pulau itu diperkaya dengan sumber daya alam melimpah dan potensi wisatanya.
Hutannya belum tersentuh, sungai, gunung berapi, dan 685 km garis pantainya masih asli.
Bahkan, Bougainville disebut bisa menjadi alternatif wisata pemandangan alam selain Bali dan Fiji, tetapi para wisatawan disarankan membuat perencanaan yang sangat hati-hati jika ingin ke sana.
"Operator tur terbatas di Bougainville, kebanyakan veteran Perang Dunia II dan kerabat mereka," kata Dr Thiago Cintra-Oppermann, pakar Bougainville dari Australian National University, dikutip dari Daily Mail pada Kamis (25/11/2021).
"Bougainville tempat yang sangat indah, dengan pemandangan yang luar biasa dan beragam, dan orang-orang yang ramah, tetapi infrastrukturnya masih sangat terbatas dibandingkan dengan Fiji dan Bali," lanjutnya.
Salah satu tempat wisata utamanya adalah reruntuhan Perang Dunia II dan wisata sejarah.
Lebih dari 60.000 orang Amerika berbasis di Bougainville selama Perang Dunia II, dan Laksamana Jepang Isoroku Yamamoto tewas dalam kecelakaan pesawat di hutan sana.
Selain itu, Bougainville juga baru-baru ini dilanda wabah Covid-19 varian Delta, sehingga di-lockdown setelah terjadi 10 kematian pada awal November dan 170 kasus baru.
"Ekowisata adalah area pertumbuhan yang memungkinkan, tetapi selama dua tahun terakhir ini terhenti," sambung Dr Cintra-Oppermann.
Sebagai negara berkembang, Bougainville memiliki banyak hal yang harus dilakukan dalam mengembangkan layanan kesehatan dan infrastruktur pariwisata.
Selain Covid-19, penyakit malaria yang endemik juga menjadi isu berkelanjutan.
Masih banyak lagi faktor yang juga membuat negara induknya, Papua Nugini, kurang populer dalam hal pariwisata, terutama reputasi berbahaya untuk keselamatan pribadi.
Sebagian besar disebabkan oleh kejahatan dan kekerasan antara penduduk setempat (terutama kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan) serta korupsi.
Indeks Persepsi Korupsi 2016 Transparency International menempatkan Papua Nugini urutan ke-142 dari 180 negara.
"Untuk waktu yang sangat lama satu-satunya industri wisata yang layak adalah wisata petualangan skala kecil dan untuk orang-orang dengan uang, karena biaya untuk sampai ke sana dan beraktivitas di sekitar Bougainville sangat tinggi," ungkap Dr Anthony Regan, pakar Papua Nugini di Australian National University.
"Hampir tidak ada akomodasi tingkat turis dalam bentuk apa pun, di luar wisma tamu kecil yang tidak terlalu terawat."
Melansir dari Tribun Mendan, Bougainville, sebuah pulau Pasifik selatan ini berharap tercatat sebagai negara baru pada tahun ini.
Namun, pemungutan suara referendum yang sedianya digelar pada 15 Juni 2019 harus ditunda.
Otoritas berwenang kini mengusulkan referendum dilaksanakan pada 17 Oktober 2019.
Penyebabnya, kegagalan pemerintah untuk menyediakan sebagian besar dana yang dijanjikan untuk upaya tersebut.
Selain itu, ada kekhawatiran soal keakuratan data pemilih dalam referendum.
"Ini tentu mengecewakan saya dan semua orang, tapi ini adalah kenyataan dari situasinya," kata Ketua Komisi Referendum Bertie Ahern, yang juga mantan perdana menteri Irlandia.
Rekomendasi soal jadwal pemungutan referendum telah diterima oleh pemerintah regional dan pusat.
"Pemungutan suara akan digelar pada Oktober," ujar Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'Neill, seperti dikutip dari AFP.
Pemungutan suara akan dipandang sebagai pilar kunci dari proses damai pada 2001 untuk mengakhiri perang sipil yang menewaskan 20.000 orang.
Perang antara separatis dan pemerintah Papua Nugini bagian tengah hanya berakhir dengan sebuah janji untuk otonomi yang lebih luas dan sebuah pemungutan suara menuju negara merdeka.
Pemerintah pusat dan otoritas Bougainville sama-sama menginginkan agar pemungutan suara tetap dilanjutkan.
"Pemerintah kami berkomitmen untuk memastikan, kami akan menggelar referendum tahun ini," kata O'Neill.
Sebelumnya, Pemerintah Australia mengumumkan pemberian bantuan dana senilai 35,6 juta dollar atau sekitar Rp 356,4 miliar kepada Bougainville.
Setengah dari uang tersebut telah tersedia melalui Proyek Dukungan Referendum Bougainville di PBB.
GridPop.ID (*)