GridPop.ID - Amaq Sinta alias Murtede (34) sedang menjadi sorotan.
Sebab niat membela diri, korban begal ini justru ditetapkan sebagai tersangka.
Melansir dari Kompas.com, semua bermula saat ia hendak mengantar makanan dan air hangat untuk keluarga yang tengah menjaga ibunya di rumah sakit di Lombok Timur.
Diperjalanan tepatnya di Jalan Raya Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, ia diadang oleh empat begal.
Berusaha menyelamatkan diri dan motornya, Amaq Sinta melakukan perlawanan dengan pisau dapur yang dibawa.
"Saya melawan, daripada saya mati. Saya pakai pisau dapur yang kecil, tapi karena mereka yang duluan menyerang saya membela diri,"
"Seandainya dia tidak melakukan kekerasan pada saya, saya ingin lari. Tapi dia justru menebas saya berkali-kali," katanya.
Akibatnya dua dari empat begal tewas terkena tusukan pisau Amaq Sinta.
Ia pun ditetapkan sebagai tersangka akibat perlawanannya itu.
Banyak yang menyeyangkan ditetapkannya Amaq Sinta sebagai tersangka, bahkan ada aksi demo untuk itu.
Sementara it, Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar menyatakan Polri tidak bisa menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Ia menyatakan bahwa SP3 hanya bisa diterbitkan jika tidak adanya unsur pidana di balik kasus tersebut.
Adapun kewenangan pembelaan korban nantinya harus dibuktikan di pengadilan.
"Polisi hanya bisa SP3 jika peristiwanya bukan pidana, alat buktinya kurang. Kalau pembelaan terpaksa itu ranah kewenangan pengadilan," kata Fickar, dikutip dari Tribunnews.com, Sabtu (16/4/2022).
Dijelaskan Fickar, Polri memang mau tidak mau harus menetapkan korban begal sebagai tersangka karena adanya pembunuhan dalam peristiwa tersebut.
"Persoalannya ada orang mati dan matinya karena dibunuh. Dalam konteks itu korban begal diletakkan sebagai tersangka. Kalau matinya ketiban benda keras dan besar pasti tidak ada tersangkanya,"
"Tapi karena ada orang mati maka hukum acara pidana dengan terpaksa menetapkan orang yang melakukan sebagai tersangka," jelas Fickar.
Namun demikian, kata Fickar, polisi diminta harus memasukan dalam Berita Acara Pidana (BAP) terkait argumen dan keterangan korban yang menyatakan bahwa pembunuhan itu terjadi dalam konteks pembelaan diri karena akan dirampok.
Hal itu termaktub dalam pasal 49 KUHP. Dalam beleid ayat 2 pasal tersebut berbunyi:
"Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.”
"Kita menunggu apakah hakim akan menerapkan pasal 49 KUHP atau pasal lainnya," pungkasnya.
GridPop.ID (*)