GridPop.ID - Kini masyarakat sedang dikejutkan dengan hilangnya Emmeril Kahn Mumtadz, putra sulung Ridwan Kamil di Sungai Aaree di Swiss.
Berdasarkan informasi yang didapatkan Tribunnews.com dari Randy Juru Bicara pihak keluarga Ridwan Kamil, disebutkan Emmeril Khan kala itu sedang berenang di Sungai Aaree, Bern, Swiss pada 26 Mei 2022.
Namun, saat hendak naik ke permukaan ia malah terseret arus sungai yang cukup deras hingga dinyatakan hilang.
Ridwan Kamil hingga kini masih menanti putranya, Emmeril Kahn Mumtadz untuk ditemukan.
Kabar hilangnya sang anak pun membuat kisah perjuangan Ridwan Kamil saat merantau ke Amerika Serikat viral kembali.
Dilansir dari Tribun Style, Emmeril Kahn Mumtadz, putra sulung Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dilahirkan di New York, Amerika Serikat, pada 25 Juni 1999.
Kisah kelahirannya kerap diceritakan Ridwan Kamil dalam sejumlah kesempatan.
Termasuk saat Kang Emil menghadiri kegiatan penandatanganan kesepahaman bersama antara Pemprov Jabar dengan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) ihwal Pelayanan Penyelenggaraan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Asal Jabar, di Gedung Sate, akhir Maret lalu.
Meski di Amerika, kisah Emil, putra sulungnya tidak dilahirkan di rumah sakit besar yang mahal, tapi di sebuah rumah sakit khusus warga miskin karena kondisi karier Ridwan Kamil sebagai arsitek saat itu sedang mengalami keterpurukan.
"Tahun 1998, setahun setelah jadi pekerja migran Indonesia di sana, saya di-PHK," kenangnya.
"Saat itu ekonomi Indonesia sedang krisis, bayangkan, saya harus dipulangkan ke Indonesia, padahal setahun sebelumnya berangkat dengan bangga, diantar keluarga satu bus, dadah-dadah,"
"Tapi setahun kemudian harus pulang sebagai orang yang di-PHK,"
Saat itu, kata Emil, pilihannya hanya dua, yakni pulang sebagai pecundang atau nekat bekerja di negeri orang walau tanpa jaminan.
Akhirnya, setelah memohon agar visanya tidak dicabut, ia melamar ke sekitar 100 perusahaan di Amerika Serikat, dan dari 100 itu, ia hanya mendapat 5 kali kesempatan wawancara.
Emil mengatakan dua wawancara pertamanya tidak berjalan baik karena pihak perusahaan merendahkan kemampuannya sebagai arsitek dan memandang lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak prospektif.
Pada wawancara di perusahaan ketiga, ia akhirnya bisa diterima setelah percaya diri menyatakan bahwa ia sempat menjadi mentor komputer kepada rekan-rekannya di Indonesia.
Di perusahaan inilah, ia kemudian meniti karier dari bawah sampai menjadi kepercayaan perusahaan di proyek Beijing Finance Street.
Dengan kerja kerasnya, pun sempat merasakan menjadi pekerja berkedudukan tinggi setelah naik jabatan di perusahaan tersebut.
Namun cerita manis ini tak berlangsung seterusnya.
Akibat kelalaian HRD yang lupa mengurus visa kerjanya, karier Ridwan Kamil harus terputus.
Di sinilah ia merasa sangat kesulitan, sendirian, karena saat itu ia tidak memiliki perlindungan sebagai PMI layaknya saat ini.
Saat terkena PHK untuk kedua kalinya, istri tercintanya Atalia Praratya sedang hamil delapan bulan.
Ia dan istrinya tidak bisa segera pulang ke Tanah Air karena wanita hamil berusia delapan bulan tidak dibolehkan naik pesawat.
Ia pun berusaha kembali bekerja di New York walau tanpa visa.
"Di-PHK tidak ada pesangon, tidak ada asuransi, dan biaya melahirkan di Amerika Serikat itu Rp 70 juta, uang dari mana?"
"Yang dilakukan, saya pun akhirnya pernah bekerja tanpa visa, dengan julukan ilegal migran."
"Saya kerjanya tukang ukur bangunan. Dengan gaji UMR, anjlok dari gaji profesional," katanya.
Akhirnya, sang istri melahirkan anak pertamanya, Emmeril Kahn Mumtadz, di rumah sakit khusus warga miskin kota New York, demi mendapatkan jaminan pembiayaan persalinan.
Pendapatan saya yang di atas UMR itu nanggung. Asuransi tidak punya dan gaji juga tidak cukup untuk membayar biaya persalinan."
"Saya minta gaji saya diturunkan sedikit di bawah UMR supaya masuk ke rumah sakit itu. Anak pertama Gubernur Jabar akhirnya lahir dengan status warga miskin kota penerima bansos," katanya.
Baru setelah dua bulan melahirkan anak pertamanya, mereka pun bisa pulang ke Tanah Air.
Itu setelah 4,5 tahun mereka berada di Amerika.
Selama tujuh tahun menjadi PMI sejak 1997 sampai 2004, Emil juga sempat mengadu nasib di Hong Kong.
Ia berada di sana hampir selama 2,5 tahun.
"Itu jatuh bangun saya sebagai pekerja migran, semua sendiri."
"Saya tidak mau kisah saya ini terulang, makanya kalau ada apa-apa, PMI segera register di Jabar Migrant Service Center," tuturnya.
GridPop.ID (*)