Bagaimanapun, panggung musik adalah panggung hiburan. Audiens yang menonton pertunjukan musik tidak hanya datang untuk mendengar lagu, yang mana hal itu bisa dilakukan di rumah dengan mendengar radio atau aplikasi musik streaming.
Ada sesuatu yang ingin disaksikan audiens dalam menghadiri pertunjukan musik, dan tentunya fans menginginkan sebuah kejutan yang diberikan dari sang artis terlepas audiens menyukainya atau justru malah membencinya.
Histeria Audiens Terhadap Tampilan Eksplisit Seksual
Segala sesuatu yang bersifat seksual memang sudah secara alami akan menimbulkan kehebohan bagi publik, apalagi bila seksualitas tersebut dipertunjukkan di depan umum baik dengan tendensi sengaja maupun tak sengaja.
Histeria terhadap konten eksplisit seksual di ruang publik tak lepas dari keyakinan bahwa seks dan seksualitas seharusnya berada dalam ruang privat dan tidak dipertunjukkan di depan khalayak.
Namun ketika seklumit aktivitas seksual tersebut ditampilkan di hadapan umum, terutama oleh figur publik, seksualitas tersebut mengundang rasa ingin tahu banyak orang sebab selama ini suatu hal yang begitu tertutup malah dipertontonkan secara cuma-cuma.
Histeria audiens menjadi tak terhindarkan.
Itu sebabnya mengapa konten-konten media yang mengandung seksualitas tidak pernah sepi audiens. Apalagi ditambah dengan keberadaan internet melalui platform media sosial yang saling berjejaring, maka penyebaran dan reproduksi konten-konten seksualitas tersebut kian masif dan luas.
Momentum Membicarakan Potensi Pelecehan Seksual di Konser Musik
Ketika membicarakan aksi panggung Pamungkas, kiranya bisa disepakati bahwa tidak ada upaya pelecehan seksual yang dilakukan oleh sang artis kepada penontonnya.
Namun animo perdebatan ini hendaknya menjadi momentum bagi semua orang untuk membicarakan potensi terjadinya pelecehan hingga kekerasan seksual di konser musik Indonesia sebagai salah satu upaya untuk menciptakan ruang publik yang aman dari predator seksual.