GridPop.ID - Istilah viral di TikTok yang akan kita bahas kali ini adalah kata fatherless.
Apakah kamu sering mendengar kata yang sedang viral di TikTok ini?
Kalau sudah, apakah kamu tahu apa arti kata dari fatherless?
Kalau belum, kamu bisa simak penjelasan lengkapnya berikut ini.
Akhir-akhir ini, istilah fatherless sedang menjadi perbincangan di media sosial seperti TikTok dan Twitter.
Melansir dari TribunTrends.com, fatherless merujuk pada kondisi di mana seorang anak merasa tidak memiliki keberadaan seorang ayah dalam kehidupannya.
Sementara itu, Indonesia telah menjadi negara fatherless ketiga di dunia.
Hal ini terungkap dalam sebuah program sosialisasi yang diadakan oleh mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) yang berjudul "Peran Ayah dalam Menurunkan Tingkat Fatherless Country Nomor 3 Terbanyak Di Dunia."
Menurut situs UNS, anggota tim sosialisasi UNS, Qori Zuroida, menjelaskan bahwa temuan mengenai posisi Indonesia sebagai negara fatherless menjadi latar belakang dari penyelenggaraan acara sosialisasi tersebut.
Fatherless dapat diartikan sebagai anak-anak yang memiliki minim keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan.
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Diana Setiyawati, mengungkapkan bahwa fenomena fatherless ini memerlukan perhatian khusus karena dampaknya yang cukup signifikan bagi anak.
Baca Juga: Cocok Jadi Wedding Song, Berikut Lirik Lagu Pengingat - Good Morning Everyone yang Viral di TikTok
“Fatherless ini menjadi fenomena yang sudah dirasakan bersama di mana peran ayah bisa dikatakan minim,” tuturnya dilansir dari laman UGM.
Menurut laporan Kompas.com, Diana Setiyawati, Kepala Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, menyatakan bahwa peran ayah bukan hanya terbatas sebagai pencari nafkah.
Dalam pengasuhan anak, diperlukan keterlibatan kedua orang tua, baik ayah maupun ibu, secara seimbang.
Artinya, tanggung jawab dalam pengasuhan anak tidak hanya menjadi kewajiban ibu, melainkan juga melibatkan peran ayah.
Namun, fenomena fatherless seringkali terjadi karena minimnya keterlibatan ayah dalam proses pengasuhan, yang salah satunya dipengaruhi oleh faktor budaya.
“Namun, yang banyak terjadi ayah tidak terlibat dalam pengasuhan. Ini jadi fenomena yang cukup lazim, salah satunya karena pengaruh budaya,” terangnya.
Patriarki di Indonesia
Mengapa masih banyak ayah di Indonesia yang jarang terlibat dalam pengasuhan anak?
Menurut pandangannya, fenomena ini disebabkan oleh kuatnya budaya patriarki.
Budaya patriarki menetapkan bahwa perempuan bertanggung jawab atas urusan rumah tangga dan perawatan anak, sementara laki-laki memiliki tanggung jawab di ranah publik.
Padahal, peran ayah tidak hanya sebatas mencari nafkah; pentingnya peran ayah juga terlihat dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan anak.
Baca Juga: KOCAK! Gadis Dikira Bisu Perkara Pakai Earphone saat Nunggu Bus di Halte, Percakapannya Bikin Ngakak
Beberapa anak bisa mengalami fatherless karena kedua orangtuanya yang terlalu sibuk.
Kesibukan bekerja membuat sulit bagi ayah untuk terlibat secara aktif dalam pengasuhan.
“Faktor orangtua yang fly in fly out, terlalu sibuk, misal berapa hari sekali baru bisa pulang menjadikan secara teknis lebih dulit terlibat dalam pengasuhan. Sementara saat sudah pulang tidak ada komitmen untuk mengganti hari-hari yang hilang,” paparnya.
Diana menyatakan bahwa kondisi ini bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman ayah dalam cara yang baik untuk mengasuh anak.
“Fatherless karena tidak tahu cara mengasuh anak, tidak ada model yang bisa ditiru dan tidak ada ilmunya,”ucapnya.
Kurangnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak dapat menimbulkan berbagai dampak, antara lain:
1. Kesulitan dalam membentuk identitas gender dan peran seksual.
2. Penurunan kinerja akademis anak.
3. Kesulitan penyesuaian psikososial anak.
4. Kontrol diri rendah dan rendahnya harga diri anak.
Diana menyoroti bahwa kurangnya keterlibatan ayah dapat menyebabkan anak mengalami ketidakmatangan emosional, yang dapat berdampak pada masalah internalisasi seperti kecemasan dan depresi, serta perilaku eksternalisasi seperti kontrol diri rendah, perilaku berlebihan, dan agresi.
5. Risiko munculnya psikopatologi pada anak.
(*)