Waktu SD, ia sudah bisa membeli sepeda hasil keringat sendiri dengan menyadap karet setelah pulang sekolah.
Uang hasil penjualan karet ditabung selama 3 bulan untuk membeli sepeda.
Setelah lulus SD, tantangan untuk masuk SMP juga lumayan berat karena SMP hanya ada di Kecamatan Pengandongan.
Tidak ada pilihan lain, kala itu Irjen Firli harus berjalan kaki menempuh sejauh 16 Km (PP) untuk menuntut ilmu.
"Saat berjalan kaki saya selalu menundukkan kepala menatap tanah yang saya lewati, tahu-tahu sudah nyampai rumah," kata Irjen Firli.
Usai ibadah salat dan makan siang, ia pergi lagi ke ladang dengan berjalan kaki sejauh 3 Km untuk membantu ibunya.
Setelah lulus SMP, Firli hijrah ke Palembang melanjutkan pendidikan SMA bermodal semangat dan memulai perjuangan hidup berat.
Baca Juga: Pernah Geger Gara-gara Foto di Ranjang, Hubungan Dua Artis Ini Diduga Telah Berakhir
Firli remaja harus bekerja serabutan untuk menyambung hidup dan membiayai pendidikan.
Sepulang sekolah, Firli berjualan spidol yang ia beli seharga Rp 25 selusin di Pasar Cinde yang dijual kembali dengan seharga Rp 50 selusin di Taman Ria Sriwijaya Palembang.
Source | : | Kompas.com,Sripoku.com |
Penulis | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar