"Jam 04.00 pagi, saat kami menunggu di luar ruang rawat almarhum, tiba-tiba hujan di Kota Makkah. Kami semua gak tahu kok ya menangis semua. Bu Nyai juga. Mbah Kyai kepundut pukul 04.17," imbuhnya.
Jadi tak heran bila Bu Nyai pun ingin melihat di mana terakhir kali belahan hatinya terakhir disemayamkan. Maka, di sinilah kami. Berada di bawah langit Makkah, di balik pagar pemakaman Ma'la.
Waktu terus bergulir makin siang. Beberapa kerabat mulai membujuk Bu Nyai untuk beranjak dari tempatnya.
"Sudah bisa pulang bu? Istirahat yuk di apartemen?" bujuk salah satu kerabat.
"Sebentar, saya belum lihat," tuturnya lirih.
Bu Nyai ternyata ingin melihat pusara Kyai. Pandangannya terhalang oleh kerumunan orang yang masih memadati areal pemakaman.
"Bapak-bapak tolong minggir-minggir... Bu Nyai ada di sini, Bu Nyai ingin melihat. Tolong minggir," teriak salah seorang santri yang juga berada di luar pagar Ma'la.
Kerumunan itu pun mulai bergeser. Tak lama, tampak sebidang tanah datar dengan dua batu sebagai penanda.
Di sana jasad Sang Kyai besar disemayamkan terakhir kali. Ya, kuburan di tanah Arab memang tak seperti di tanah air yang berupa gundukan disertai papan nisan saja.
Melihat itu airmata Bu Nyai makin deras. Tangannya kembali menengadah, lantunan doa makin keras ia ucapkan.
Hingga berulang kali memohon ampunan bagi sang kekasih hati. (*)
Source | : | Kompas.com,Tribunnews.com |
Penulis | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Editor | : | Veronica Sri Wahyu Wardiningsih |
Komentar