Adian yang saat itu masih berusia 27 tahun dan ribuan mahasiswa lainnya kemudian berkumpul di depan jajaran tiang bendera Kompleks Parlemen.
Spanduk bertuliskan "Bubarkan DPR/MPR" dan "Adili "Soeharto" dinaikkan di tiang bendera itu.
Namun, aksi menaikkan spanduk itu mendapat penentangan dari aparat yang menjaga aksi demonstrasi.
"Wah, itu dikokang semua senjata. Kami tiarap semua di situ. Banyak sekali aparatnya," kata Adian saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (18/5/2016).
Ancaman senjata tersebut, kata dia, adalah untuk meminta para mahasiswa segera menurunkan spanduk.
Negosiasi pun dilakukan antara perwakilan mahasiswa dan aparat.
Hingga akhirnya senjata aparat ditarik kembali, spanduk itu pun ikut diturunkan.
Adian menambahkan, situasi saat itu memang mencekam.
Aparat militer tersebar tiap sudut Jakarta.
Mereka tak beridentitas namun berbekal senjata yang siap mengancam siapa saja yang dianggap berulah.
"Lapis baja, mulai water cannon hingga panser meraung di jalanan. Sniper menunggu kampus-kampus yang akan bergerak," tutur Adian.
Kini, nasib Adian sama seperti tiga aktivis di atas: jadi anggota DPR.
Ia menjadi anggota DPR dari PDIP dapil Jawa Barat V sejak tahun 2014 dan duduk di Komisi VII DPR yang memiliki ruang lingkup tugas di bidang energi, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup.
Dalam Pemilu 2019, Adian mencoba peruntungan tapi hanya meraih 80.228 suara, sangat jauh di bawah Fadli Zon.
Sama seperti Budiman Sudjatmiko, Adian gagal merasakan empuknya kursi DPR RI.
Komentar