GridPop.ID - Demi memutus mata rantai penyebaran virus Corona, beberapa negara memberlakukan sistem lockdown.
Namun, kebijakan ini ternyata juga memiliki dampak yang buruk bagi hubungan suami dan istri.
Hal tersebut terjadi di negara ini.
Akibat sering bertemu di rumah selama lockdown, puluhan suami istri memilih untuk berpisah.
Melansir Bloomberg, angka perceraian tiba-tiba melonjak pada bulan Maret, dimana pandemi Covid-19 mulai menurun.
Setiap tahunnya, China selalu menerbitkan data jumlah perceraian.
Laporan media setempat menunjukkan bahwa angka perceraian di setiap kota China mengalami lonjakan.
Kekerasan dalam rumah tangga
Maret adalah bulan dimana para keluarga atau pasangan suami istri mulai bisa bergerak bebas.
Kenaikan angka juga terjadi pada kasus KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga).
Bahkan masih melansir Bloomberg, jumlahnya berlipat ganda.
Tren ini bisa menjadi peringatan bagi sejumlah negara yang ingin melakukan lockdown.
Atau mungkin negara-negara yang kini mulai mengarah ke penguncian dengan melakukan jarak sosial.
Fenomena sosial ini mengartikan bahwa ketidakhadiran seseorang membuat hati semakin dekat.
Namun bila pasangan terlalu sering bertemu dan menghabiskan banyak waktu dalam jarak dekat, pertengkaran berpotensi terjadi.
Inilah yang dialami seorang wanita dan ibu asal Tiongkok, Wu.
Wu berusia 30 tahunan dan sengaja tidak memberikan nama lengkap untuk melindungi privasinya.
Hampir dua bulan dia menghabiskan waktu bersama suaminya yang tidak bekerja di rumah, Provinsi Guangdong Selatan.
Menurut Wu, dia dan suaminya sering bertengkar.
Wu bahkan mencatat hal-hal yang membuatnya kesal antara lain uang yang terlalu sedikit, terlalu sering bertemu dan pekerjaan rumah tidak dibagi rata.
Satu hal lagi yang membuat Wu geram adalah, suaminya sering mengajak anaknya bermain di malam hari.
Padahal waktu-waktu itu harusnya anak-anak bergegas tidur.
"Dia pembuat onar di rumah," katanya.
"Aku tidak ingin bertahan lagi. Kami sepakat untuk bercerai, dan langkah berikutnya adalah mencari pengacara," jelasnya.
Kembali ke tingkat perceraian, Kota Xian di China Tengah dan Dazhou di Provinsi Sinchuan melaporkan jumlah pengajuan cerai yang tinggi pada awal Maret.
Ini menyebabkan tumpukan kasus yang panjang di kantor-kantor pemerintahan.
Di Miluo provinsi Hunan, anggota staf kantor bahkan tidak punya waktu untuk minum air karena begitu banyak pasangan akan cerai yang berbaris.
Sejumlah catatan ini bersumber dari laporan pemerintah kota pada pertengahan Maret lalu.
Petugas pengadilan berjuang untuk mengikuti dan memproses semua nomor aduan dalam satu hari.
"Masalah sepele dalam kehidupan menyebabkan eskalasi konflik."
"Komunikasi yang buruk telah menyebabkan semua orang kecewa pada pernikahan dan membuat keputusan untuk bercerai," kata direktur pusat pendaftaran kota, Yi Xiaoyan.
Sementara itu, pengacara perceraian Shanghai Steve Li di Gentle & Trust Law Firm mengatakan kasus perceraian di tempatnya telah meningkat 25 persen sejak lockdown mereda.
Dulu perselingkuhan jadi sebab nomor satu aduan perceraian di kantor pengacara itu.
Sebab orang-orang berpikir bisa mencari cinta yang baru saat tidak ada di rumah.
Sedangkan waktu-waktu Natal dan Tahun Baru China adalah waktu liburan yang bisa kembali mengeratkan ikatan keluarga.
Saat pandemi ini mulai merebak dengan masif pada akhir Januari, banyak pasangan harus tinggal serumah dengan lama.
Bahkan diantara mereka harus hidup bersama dengan keluarga besar.
Bagi banyak orang di China, mungkin ini terlalu berat nilai Li.
"Semakin banyak waktu yang mereka habiskan bersama, semakin mereka saling membenci," kata Li merujuk kasus barunya.
"Orang-orang membutuhkan ruang. Bukan hanya untuk pasangan, ini berlaku untuk semua orang."
GridPop.ID (*)
Source | : | tribunnews |
Penulis | : | Luvy Yulia Octaviani |
Editor | : | Maria Andriana Oky |
Komentar