Diketahui, proposal action plan itu dipaparkan oleh Jaksa Pinangki, Andi Irfan Jaya dan Anita Kolopaking saat menemui Djoko Tjandra di Kantornya yang terletak di The Exchange 106 Lingkaran TrX Kuala Lumpur, Malaysia pada November 2019 lalu.
Ketiganya bersama Djoko Tjandra juga sempat bersepakat untuk memberikan uang sejumlah USD 10 Juta atau Rp 148 milliar kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan di Mahkamah Agung. Hal itu untuk keperluan mengurus permohonan Fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung.
Dalam dakwaanya, Djoko Tjandra disebut baru sempat mengirimkan uang kepada Pinangki sebesar USD 500 ribu atau Rp 7 milliar sebagai uang muka biaya jasa pengurusan awal. Uang itu diberikan melalui almarhum adik ipar Djoko Tjandra, Herriyadi kepada Andi Irfan Jaya.
Selanjutnya, Andi Irfan Jaya meneruskan uang itu kepada Jaksa Pinangki. Namun di tengah jalan, Djoko Tjandra memutuskan membatalkan untuk menggunakan jasa Jaksa Pinangki untuk mengurus fatwa MA.
Dalam kasus ini, Jaksa Pinangki dijerat dengan pasal berlapis. Di antaranya,
pasal 5 ayat 2 jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Subsidiair pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua,
pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Source | : | tribunnews |
Penulis | : | Arif B |
Editor | : | Andriana Oky |
Komentar