Ia kemudian menyinggung sejumlah isi kritikan dalam mural yang viral di media sosial.
Menurut Sudjiwo, mural menjadi satu di antara sejumlah cara masyarakat menyampaikan keluh kesahnya.
"Kalau misalkan 'Mari kita sehat di negara yang sakit' itu ditahan-tahan, enggak diungkapkan, lama-lama bisa stroke secara sosial," katanya.
"Stroke-nya itu pemberontakan, itu lebih bahaya."
"Ini orang ketawa-ketawa kok nonton kalau jujur."
Selain menjadi media kritik, kata Sudjiwo, mural juga bisa menjadi media hiburan masyarakat.
Karena itu, menurutnya mural juga bisa menghilangkan kejenuhan masyarakat.
"Tapi terhibur, perjalanan dari pabrik ke rumahnya menjadi perjalanan psikologis," katanya.
"Manusia modern itu stres karena dari rumah ke tempat kerja perjalanannya fisik aja enggak ada hiburan di kiri kanan."
Sudjiwo melanjutkan, meski mural sudah dihapus, ingatan masyarakat soal kritik terhadap Jokowi tak akan hilang.
"Mural itu seperti kerinduan yang enggak bisa dihapus."
"Mural bisa dihapus, tapi 'Tuhan aku lapar' semakin nempel di orang," tukasnya.
Di sisi lain, debat sengit terjadi antara Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin dan pengamat politik Said Didu.
Menurut Said Didu, aparat semestinya tidak perlu gusar dan gegabah menghapus setiap kritik yang digambar untuk menyuarakan isi hati rakyat.
Pasalnya, pemerintah dalam hal ini Presiden menyatakan bahwa pihaknya tidak pernah anti kritik.
"Saya berkali-kali mendengar presiden 'Terima kasih kepada pengkritik saya', tapi berkali-kali saya melihat perlakuan aparat berbeda dengan presiden," Said Didu dikutip TribunWow.com dari Catatan Demokrasi tvone, Rabu (18/8/2021).
"Kemungkinan besar aparatnya bandel atau ada dua arahan, atau aparatnya juga melihat kalau menjilatnya lebih panjang maka pangkatnya lebih cepat naik."
Source | : | Kompas.com,Tribunwow.com |
Penulis | : | Lina Sofia |
Editor | : | Andriana Oky |
Komentar