Dari Jakarta pindah ke Blitar, dan sempat berpindah ke Kalimantan.
Saat berada di Blitar ini Ajeng mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan bahkan sampai ke kekerasan fisik.
Bahkan saat masih duduk di bangku kelas 4 atau 5 SD ia sempat berpikiran akan kabur dari rumah.
“Saat itu hanya bisa mencatat di buku diary, mau kabur masih takut. Sempat dengar kalau aku bukan anak kandung,” kata dia.
Pada saat duduk di bangku SMP, Ajeng disuruh untuk membersihkan kamar orangtuanya.
Saat itu, Ajeng menemukan dokumen hak asuhnya yang menunjukkan bahwa dirinya bukan anak kandung.
Tak hanya dokumen yang ia temukan, tetapi dia juga menemukan fotokopi KTP ibu kandungnya yakni D.
Ajeng lalu menceritakan temuannya kepada guru Bimbingan Konseling (BK).
Ia berharap ada jalan keluar yang diberikan oleh sang guru. Pada saat itu, Ajeng juga berharap guru BK tidak menceritakannya kepada orangtuanya.
Namun, selang beberapa hari orangtua Ajeng diundang ke sekolah.
“Kalau cerita ke BK kan seharusnya kan rahasia. Tapi habis cerita papa datang ke sekolah dan menanyakan dapat dokumen ini dari mana, lalu dokumen diambil papa,” kata dia.
Saat Ajeng duduk di kelas 1 SMA ia tidak diperbolehkan ikut untuk mengambil rapor oleh orangtuanya.
Setelah pengambilan rapor Ajeng diberi kabar tidak naik kelas dan di-drop out (DO) dari sekolahnya.
Ajeng heran mengapa dia bisa tinggal kelas dan di-DO oleh pihak sekolah, padahal selama bersekolah SMA termasuk orang yang rajin dan berprestasi.
Source | : | Kompas.com,Tribun Jateng |
Penulis | : | Lina Sofia |
Editor | : | Veronica S |
Komentar